Apertio: errantes in silva quaestionum

4.5K 193 30
                                    

Errantes in silva quaestionum: berkelana di hutan pertanyaan
[Given-Taken : Jay]

Suara sirine begitu memekakkan telinga, saling beradu, bersahut-sahutan tak kunjung henti. Semakin mobil itu dipacu, membuat embusan angin membelah jalan seakan mempersilakan mereka untuk terus menekan pedal gas kian kencang.

Jurang di tepi kiri, sedangkan tebing tinggi di sisi lainnya. Jalan berkelok membuat medan area semakin rumit, ditambah penerangan seadanya dari lampu kuning redup pada tiang-tiang di tepian jalan. Salah sedikit mereka bisa menabrak tebing, atau mungkin jatuh ke jurang yang entah ada apa di dasarnya.

Sirine masih tiada ampun untuk melaksanakan tugasnya. Berbunyi semakin nyaring, lebih nyaring lagi saat mereka ada di bibir hutan. Mobil itu terhenti tepat di belakang mobil lain dengan pintu kemudi yang menganga lebar, mereka tak bisa masuk menembus deretan pohon-pohon tinggi yang menjulang. Sebagian dari pria dengan kalung tanda pengenal kepolisian itu berjaga, dan sebagian lagi berlari seraya menembakkan pistol ke udara sebagai tanda peringatan, mengejar si pemilik mobil yang ditinggalkan begitu saja.

Polisi-polisi itu menggila. Mereka berpencar, menyusuri hutan lebat yang lembab. Persetan dengan tengah malam yang gelap, berbekal senter dari ponsel, mereka siaga dan berhati-hati. Bajingan itu harus ditangkap, atau mungkin tak lagi ada kesempatan bagi mereka untuk menemukannya.

Hanya mengandalkan sinar rembulan yang jauh di atas sana, seorang pemuda berlari masuk ke dalam hutan kian dalam. Sesekali menoleh ke belakang, takut para polisi menemukan dirinya. Suara tembakan sudah tak lagi terdengar masuk ke gendang telinganya, apakah ia sudah berlari begitu jauh?

Langkah kaki pemuda itu melambat. Napasnya tersengal-sengal, hingga akhirnya ia berhenti, menumpu kedua tangannya di lutut.

"Brengsek," gumamnya.

Merasa benar-benar aman, pemuda itu tak lagi berlari. Hanya berjalan sembari menyingkirkan apapun itu yang menghalanginya, kebingungan sendiri mencari jalan keluar. Semakin lama ia melangkah, semakin masuk dirinya tersedot ke dalam hutan. Sungai setinggi tulang tibia ada di hadapannya, jernih dan menenangkan.

Pemuda itu berjongkok, menatap pantulan wajahnya di aliran sungai itu. Datar, namun penuh amarah, terpancar dari sorot matanya yang tajam dan alis terangkat tegas.

Diambilnya air sungai itu dengan kedua telapak tangan, setidaknya minum beberapa teguk bisa menghilangkan haus yang mencekik leher. Kemudian ia menatap pantulan dirinya lagi, kini lebih lama. Seolah berpikir, entah apa yang ada di dalam isi kepalanya.

Kedua telapak tangan itu lebih sibuk, berkali-kali menampung air untuk menyeka wajahnya. Hingga ia merasa muak, memukul sungai tak bersalah itu sebagai pelampiasan.

"Anjing!" umpatnya.

Setelahnya ia berusaha menenangkan diri sejenak, sebelum akhirnya kembali berdiri, berjalan lagi tak tentu arah.

Masih di dalam hutan dengan pohon tinggi membumbung, hening, suara anjing liar bersahutan, beradu dengan jangkrik yang tak ingin kalah. Keadaan yang kian lembab dan basah sedikit menyulitkan langkah pemuda itu, berpegangan pada dahan pohon pun tak banyak membantunya.

Sayangnya ia terpeleset, jatuh ke jurang yang cukup curam. Sia-sia jika ia mati begini, bajingan yang malang.

***

Matahari bersinar cukup terang pada pukul sebelas siang. Lelaki itu berjalan dengan tertatih. Suara ranting yang terinjak sedikit membuatnya terganggu memang, tapi mau bagaimana lagi, ia harus hidup di sini.

Tongkatlah yang membantu dirinya terarah kesana-kemari. Memukul-mukul daun jatuh yang ada di hadapannya. Di punggungnya sudah ada seikat besar kayu bakar, ia gendong hasil berburunya itu untuk dibawa pulang.

FATE: BLESSED KARMA | JAYKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang