5: veni, vidi, vici

1.2K 123 8
                                    

Veni, vidi, vici: saya datang, saya melihat, saya menaklukkan.

Jake sibuk bergumul dengan pikirannya, duduk menyendiri di kamar sembari memeluk bantalnya dengan erat. Beberapa jam lalu, bantal itu menjadi korban salah tingkahnya atas ciuman yang diberikan oleh Jay, namun sekarang berbanding terbalik, rasanya bantal itu hanya untuk menopang dirinya yang kalut.

"Kau tidak tahu apa alasan aku berada di sini, kan? Jadi tolong, jangan paksa aku untuk kembali ke kota."

"Aku tahu, mungkin tidak banyak, tapi aku tahu."

Dialog itu seolah kaset usang yang berputar di kepala Jake, sungguh mengganggu dan berisik. Ia terkubur dengan rasa penasaran yang semakin menjadi-jadi, namun tak kunjung bertanya karena masih takut. Tentu saja, Jake takut dengan kenyataan yang mungkin akan ia dengar nanti. Entah tentang apa itu, ia hanya khawatir, terlebih jika itu berkaitan dengan mimpi-mimpi buruk yang menghantui hidupnya.

Sementara itu Jay sedang menjemur pakaiannya di luar, membiarkan kering setelah dicuci seadanya karena ia terlalu malas. Ditatapnya kaos hitam yang tergantung itu, kemudian memberikan pukulan dengan rasa tak bersalah. Kaos hitam yang malang, ia gunakan untuk menyalurkan emosinya.

Langkahnya kemudian terarah kembali ke dalam rumah. Ditegaknya segelas air putih yang ada di atas meja makan, lalu duduk pada kursi di sana sambil bersandar. Pemuda itu menghela napas dengan berat, memijat kepalanya yang terasa pusing. Memikirkan dengan cara apalagi ia harus membujuk Jake untuk tinggal di kota, daripada menyusahkan diri hidup di tengah hutan belantara.

Seandainya Jay tidak memiliki hati nurani, ia lebih memilih untuk melarikan diri dan meninggalkan Jake sendiri. Tapi ia tak mungkin begitu, bagaimanapun juga Jake harus selalu ada di genggamannya untuk saat ini. Jay tak bisa menyia-nyiakan kesempatan ini, atau ia akan kehilangan Jake untuk kedua kalinya seperti kala itu.

Usia Jay masih terlalu kecil untuk menerima kenyataan bahwa sang ibu meninggal di tangan ayahnya sendiri. Pria itu tiba-tiba saja pulang dalam keadaan mabuk—membatalkan janji untuk membawa sang anak ke psikolog bersama istrinya. Menyampaikan sumpah serapah pada wanita yang berusaha menenangkannya. Sampai pada titik di mana pria tersebut mengungkapkan jika Han Seungah lebih baik mengurus dirinya ketimbang sang istri, membuat ibu Jay secara tak sadar menampar sang suami karena sakit hati.

Tangan dibalas tangan, namun tangan ayah Jay jauh lebih keji dan tak bermoral. Beribu-ribu pukulan ia berikan pada sang istri, tak peduli jika wanita itu sudah terkulai lemas dan berantakan di lantai yang dingin. Suara gaduh membuat Jay kecil ingin keluar dari kamar, namun mengurungkan niatnya dengan segera setelah mendapati sang ayah tengah berancang-ancang untuk menembak ibunya, menyiapkan pistol yang diisi peluru. Jay kecil sangat ketakutan, langsung mengunci pintu dan berjongkok sembari menutup telinganya dengan erat.

Seberapa eratpun ia berusaha menulikan pendengaran, suara tembakan itu masih saja terdengar nyaring. Tangisnya tertahan, tangannya ia gigit agar tak menimbulkan suara. Jay kecil mendengar tawa jahat yang menakutkan, disusul dengan suara ambruk di lantai. Perlahan ia bergerak, memberanikan diri untuk membuka pintu. Dilihatnya sang ibu sudah bersimbah darah dengan keadaan yang kacau, sedangkan ayahnya hilang kesadaran karena pengaruh alkohol yang sudah melampaui batas.

Sambil menangis, ditatapnya mayat sang ibu seraya berjalan menuju pintu utama. Jay kecil merasa bersalah, namun ia terlalu takut untuk tetap menetap di sana, dan harus segera pergi sebelum ayahnya bangun lagi. Hanya berbekal dua kaki kecilnya, ia berlari menuju rumah pamannya di dekat sekolah, alamat yang memang sangat ia hapal. Malam yang dingin ini Jay kecil abaikan, ia tak peduli, ia hanya ingin hilang dari hadapan pria jahat yang pernah ia sebut sebagai ayah.

Seminggu sudah Jay kecil tinggal di rumah pamannya, dan selama itu pula ia berkabung karena ibunya yang tewas secara mengenaskan, namun kini sudah dikremasi dengan baik. Rumah ini jauh lebih besar daripada rumah tinggalnya bersama orang tua, meski begitu, Jay kecil tetap merasa hampa, kosong, dan suram. Bukan, bukan karena suasana rumah, namun hatinya lah yang masih belum bisa menerima kematian itu.

FATE: BLESSED KARMA | JAYKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang