17: fiat lux

650 75 8
                                    

Fiat lux: jadilah terang.

Malam hari terasa dingin, angin menembus kain lalu menerpa kulit, masuk tanpa izin ke dalam tubuh. Kaos berlengan panjang yang dikenakan lelaki itu tak bisa membuat dirinya hangat, angin malam semakin liar.

Jake duduk sendirian di balkon unit apartemen ini. Kedua kakinya naik ke atas kursi, lalu dipeluknya. Kepalanya bertopang pada kedua lutut, dengan mata yang terpejam. Dia tidak tidur, atau pingsan karena kedinginan. Jake masih sadar sepenuhnya, telinganya masih sanggup mendengar deru kendaraan lewat di bawah sana. Tapi pikirannya kosong, hatinya begitu hampa. Harinya yang memang gelap, semakin gelap saat Jay tak ada di sisinya. Bukan waktu yang sebentar untuk tiga puluh tahun berpisah, nyatanya Jake sudah nyaris mati kesepian sejak dakwaan itu ditetapkan satu tahun lalu. Benar, dua puluh sembilan tahun lagi, Jake hanya perlu menunggu lagi selama itu.

Hingga suara ketukan pintu membuyarkan pikirannya. Mata Jake terbuka, namun ia tak langsung beranjak. Ketukan itu selalu ia dengar hampir setiap hari, dibandingkan membuka pintu untuk orang di luar sana, Jake rasa ia lebih banyak menolaknya. Kali ini ia masih memikirkan, apakah menerima atau menolak seperti biasa.

Masih, ketukan itu terdengar lembut, namun sering. Cukup berisik baginya, ia tak suka waktu menyendirinya diganggu. Ditambah dengan Layla yang terus saja menggonggong di dekat pintu, Jake hanya bisa menghela napas, lalu memutuskan untuk berdiri, menghampiri pintu itu, agar ia bisa kembali tenang.

Dibukanya pintu tersebut, tak lebar, tapi orang di luar sana masih bisa melihat wajah sendu lelaki manis ini. Orang itu tersenyum simpul, lalu mendorong pintu tersebut agar lebih lebar, supaya dirinya bisa masuk.

"Kau terus saja berlaku seenaknya," ucap Jake dingin.

Orang itu tertawa. Ia berjalan menuju mini bar di dapur, meletakkan dua plastik berisi makanan di sana.

"Kalau aku bertanya boleh masuk atau tidak, kau pasti menolak."

Dia tampak sibuk memindahkan beberapa kebutuhan ke kulkas atau laci penyimpanan. Kemudian menghidangkan tteokbokki yang baru saja ia beli, juga dua kaleng kola, hitung-hitung sebagai camilan malam karena sekarang sudah pukul satu. Selesai dengan urusannya, ia membawa tteokbokki dan dua kaleng kola itu ke ruang tamu, menyajikannya di atas meja setinggi lutut, duduk dengan tenang di lantai beralaskan karpet bulu.

"Ke sini, Jake."

Bersama Layla yang mengekorinya, Jake menuju sumber suara. Ia tahu betul apa yang dilakukan orang ini, selalu makan di unitnya, selalu makan di ruang tamunya. Jake duduk di hadapan orang itu, ia dapat merasakan sepasang sumpit sengaja disodorkan ke samping tangannya. Tapi Jake sama sekali tidak berniat untuk makan, ia sedang tidak selera. Tangannya beralih untuk mengusap bulu lembut Layla yang berbaring nyaman di kedua pahanya.

Tak ada pembicaraan. Jake hanya mendengar suara berisik dari ponsel orang itu yang memutar video pertandingan sepak bola, juga cuap-cuapnya sambil makan tteokbokki, tanpa mengajaknya berbicara sedikitpun.

"Heeseung hyung," panggil Jake, memecah keheningan antara mereka.

Kalian tidak salah kira, orang itu memanglah Lee Heeseung, anak dari ahjumma dan ahjussi pemilik supermarket di sebelah apartemen Jake. Setahun sudah mereka akrab—lebih tepatnya Heeseung yang mengakrabkan diri, sejak Jake selesai dengan urusannya mengahadiri persidangan akhir Jay dan pamannya kala itu. Beralasan untuk mengembalikan roti burger milik Jake yang terjatuh, namun nyatanya, saat itulah Heeseung terpanggil untuk dapat menjaga lelaki manis ini.

Pemuda yang dipanggil ini menoleh sekilas, lalu kembali pada tteokbokki dan video sepak bolanya. Jake menghela napas panjang, hal itu membuat Heeseung menjeda videonya, kali ini memilih untuk lebih memerhatikan lawan di depannya, sambil mengambil sepasang sumpit itu dan memberikannya langsung ke tangan Jake.

FATE: BLESSED KARMA | JAYKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang