1: in absentia lucis, tenebrae vincunt

1.9K 157 23
                                    

In absentia lucis, tenebrae vincunt: saat tak ada cahaya, kegelapan menguasai.

Lelaki itu menyendiri, duduk di bangku pada dapurnya yang sederhana. Bersandar di sana, menerawang dalam kegelapan tentang kejadian hari ini. Banyak hal tak terduga menurutnya, membuka luka lama yang entah sudah berapa tahun ia kubur dalam-dalam.

Caci maki, umpatan, dan rasa takut akan kematian. Ia benci semua itu.

Kehadiran pemuda yang ia undang dengan sengaja ini malah membuat Jake merasa tidak nyaman. Seharusnya ia sudah lupa akan hal itu, seharusnya ia tak mengingat hal yang membuatnya sakit lagi. Tapi hari ini, dia datang, membawa rasa perih seperti yang pernah ia rasakan dulu.

"Kayu bakarku!" seru Jake.

Hingga lelaki itu terlonjak, ia berdiri tiba-tiba dan membuat lututnya terantuk meja makan. "Argh!" pekiknya, seraya memegang lutut kanan yang menjadi korban.

Ia mengelus lutut tak bersalah itu, meredam rasa sakit yang tak ia harapkan. Lelaki itu berjalan perlahan, selain lututnya yang masih sedikit nyeri, matanya yang tak bisa melihat pun menjadi alasannya. Langkahnya tertatih menuju pintu utama, lalu ke luar rumah berbekal tongkatnya yang memang selalu diletakkan di dekat pintu tersebut. Toh Jake hanya butuh tongkat itu saat ia meninggalkan rumah, kan?

Sudah beberapa tahun tinggal di sini, tentu Jake hapal akan ke mana dan di mana ia berada. Meski di tengah hutan, Jake tahu arah rumahnya dengan baik. Lelaki itu tak ingin mengambil risiko untuk pergi terlalu jauh dari rumah, bisa-bisa ia habis dimakan hewan buas jika tersesat. Lagi pula, ia tak tinggal sendiri sepenuhnya.

Langkahnya terarah menuju lereng jurang yang tak jauh dari sana. Mencoba mengingat di mana ia meletakkan tumpukan kayu bakar yang ia relakan demi menggendong tubuh pemuda kasar yang kini masih ada di rumahnya itu. Sesekali ia memajukan bibirnya, memikirkan betapa menyebalkannya pemuda tersebut. Sedikit rasa penyesalan menyelimuti hati Jake saat teringat betapa kasarnya pemuda itu, tahu begitu tidak perlu ditolong, menurutnya begitu.

"Dapat!" serunya sambil tersenyum puas.

Tongkatnya memukul tumpukan kayu itu pelan, untuk memastikan saja. Tubuhnya merendah, mengumpulkan kayu-kayu itu jadi satu, lalu dibungkusnya dengan kain untuk membawa. Punggungnya begitu kuat, asal kalian tahu. Jake tidak selemah itu.

Tapi Jake salah. Meski punggungnya bisa, nyatanya lututnya masih terasa nyeri karena benturan dengan meja kayu yang kuat. Nyaris saja ia tumbang, jika seseorang tidak menahan tubuhnya.

"Ya Tuhan, Jake!"

Napas Jake memburu, ia terkejut. Lelaki itu berusaha menajamkan pendengarannya, tepatnya ke arah sumber suara yang meneriaki namanya.

"Ahjumma?" Jake menebak.

Orang itu menghela napasnya berat, lalu memukul pelan bahu Jake beberapa kali karena kesal.

"Kenapa tidak berhati-hati? Kau bisa melukai dirimu, asal kau tahu!" bentaknya.

Mendengar itu, Jake hanya tertawa kecil. Senyum manisnya merekah lebar karena rasanya sudah sangat lama tidak mendengar suara wanita ini.

Jake yang buta bersikeras untuk tinggal sendiri di rumah hutan, sedangkan Han ahjumma sesekali mampir untuk menemani jika ada waktu. Baru tiga hari ditinggal wanita itu bukan waktu yang lama menurut Jake, tapi nyatanya, hari ini ia banyak sekali mendapat kesialan. Syukurlah Han ahjumma sudah kembali, jika tidak, bisa-bisa ia tak tahan untuk tinggal bersama manusia asing itu.

"Ahjumma ke sini lagi?" tanya Jake basa-basi.

 "Eugh! Bagaimana bisa ahjumma meninggalkan mu sendirian berlama-lama," jawabnya sambil menggoda.

FATE: BLESSED KARMA | JAYKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang