Pulvis et umbra sumus: kita hanyalah debu dan bayangan.
Hujan masih setia membasahi bumi meski jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Jay terlihat gusar, bolak-balik ia melangkahkan kaki, berdiri tak karuan di dekat jendela. Kuku tangannya tergigit, juga sesekali mengusap pelipisnya.
"Sialan!" umpatnya cukup keras.
Jake cukup terkejut, tangannya menggenggam cangkir begitu kuat. Perasaannya turut runyam, sebab Jake tahu, bukan masalah kecil yang dihadapi Jay, dan ia benci saat tak bisa membantu pemuda itu sama sekali. Meski lelaki manis ini duduk seorang diri di mini bar, jarak dengan Jay yang tidak terlalu jauh membuat Jake dapat mendengar langkah kaki pemuda itu, sarat akan kekhawatiran.
Jake menghela napasnya, ia berdiri. "Jay," panggilnya.
Pemuda bermata elang itu menoleh, menghampiri si lelaki manis dan langsung memeluknya. Jay menenggelamkan wajah di ceruk leher Jake, merasakan kehangatan karena lelaki manis itu mengusap punggungnya penuh kelembutan.
"Kapan ayahmu akan memenuhi panggilan polisi?" tanya Jake.
"Seharusnya setelah jam makan siang nanti," jawab Jay sembari melepaskan pelukan itu, lalu menatap Jake dengan sedih.
Tangan Jake terangkat, mencari di mana wajah Jay berada. Pun pemuda Park itu mengarahkan, membantu si lelaki manis agar dapat menangkup kedua pipinya. Jake berusaha tersenyum, samar saja, bahkan nyaris tak terlihat.
"Semoga baik-baik saja untukmu," ucapnya.
Ingin rasanya Jay menangis, tatapan sendu dari mata Jake yang tak dapat melihat membuat perasaannya menjadi semakin resah, takut jika ia akan meninggalkan lelaki ini nantinya. Tanpa aba-aba, Jay langsung mencium bibir Jake, menerobos paksa untuk saling bertukar saliva. Diabsennya setiap deret gigi rapi lelaki ini, dibalas oleh Jake yang sudah terbiasa mengimbangi permainan.
"Hmph," desah Jake.
Pemuda bermata elang itu tak lagi melumat bibirnya, beralih pada leher Jake yang ia isap begitu kuat, menimbulkan tanda keunguan di sana. Jake mendongak, rasanya sangat nikmat, juga sakit secara bersamaan. Hatinya, hatinyalah yang sakit. Ia ingin menikmati kenyamanan ini selalu, bersama Jay, bagaimana jika nanti ia harus hidup sendirian saat Jay sudah berurusan dengan polisi?
Air mata Jake jatuh, bayangan itu membuatnya takut. Jay menyudahi kegiatannya, lalu menyisipkan jari-jarinya di rambut lelaki manis ini. Disatukan kedua dahi mereka, Jay menatap Jake yang menangis, melihat dari dekat, turut merasakan sakit yang mendalam.
"Maafkan aku, Jake."
Si lelaki manis menggeleng, menggigit bibir bawahnya agar isakan itu bisa ia tahan. Namun semakin ia mencoba, yang ada malah semakin membuat rasa sakit itu menjalar. Jay tidak suka, ia benci melihat Jake menangis, apalagi karena dirinya.
Pemuda itu mendorong perlahan Jake untuk segera ke kamar, lalu menjatuhkan tubuh itu di atas kasur. Jake meraba udara, mencari di mana Jay berada, tak ingin jauh dari pemuda tersebut. Hingga ia bisa merasakan tubuh Jay menindihnya, tanpa sehelai kain, entah kapan Jay melepaskan seluruh pakaiannya. Jake meraih kedua pipi Jay, mendekatkan wajah mereka agar ia dapat mencium bibir pemuda tersebut. Air matanya masih jatuh, Jake membabi buta mencumbu Jay dengan perasaan hancurnya.
Tentu Jay tidak tinggal diam, tangannya sibuk melepas pakaian Jake, juga membuang celana pendek pembungkus penis si pemilik entah ke mana. Hingga ia menukar posisi, membawa Jake ke atas tubuhnya, sementara ia yang berbaring di kasur. Ciuman itu masih tak lepas, semakin nikmat, semakin nyaman, namun perih.
"Jay-ah.." panggil Jake.
Lelaki manis itu lelah, tumbang di atas Jay. Air mata membasahi dada bidang pemuda itu, namun yang bisa Jay lalukan sekarang hanyalah memeluk Jake, juga menciumi pucuk kepalanya sesekali, juga menangis dalam diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
FATE: BLESSED KARMA | JAYKE
Fanfic⚠️ Top: Jay | Bottom: Jake ⚠️ 🔞 adult scenes | violence | harsh words | suicide & murder | drugs 🔞 Sang Domini tidak tidur, Ia mampu mendengar setiap penuturan makhluk-Nya, termasuk caci maki yang diutarakan oleh Jay pada lelaki bernama Jake yang...