SKSB 18

546 148 20
                                    

Robi menjentikkan jari lalu meneguk air putih kemasan yang tersedia di meja.

"Lo kenapa jadi ngelamun, Wa? Jangan bilang lo kepikiran Gendhis!"

"Nggaklah! Jonathan tahu nggak kalau dia nggak datang?"

"Entah! Coba lo telepon Jo. Lo tanya aja ke dia."

Dewa mengangguk lalu mengambil ponsel miliknya yang berada di depan Robi. Tampak dia sedang mencari nama Jonathan untuk dihubungi.

"Emang ada apa, Wa?"

"Apanya?" Dia mengalihkan pandangan ke Robi.

"Lo kenapa sampai segitunya ingin tahu soal Gendhis?"

"Gue jadi curiga," sambungnya dengan senyum dikulum.

Kali ini Dewa tak menanggapi. Dia menyandarkan tubuh ke punggung kursi dengan ponsel yang masih dia genggam. Pertanyaan Robi adalah juga pertanyaannya. Dirinya pun tak mengerti kenapa tiba-tiba ingatannya mengarah kepada perempuan itu.

Sebenarnya tidak ada yang istimewa padanya, hanya saja, ketangguhan Gendhis dan rasa tanggung jawab yang tinggi yang membuat Dewa kagum. Namun, jika boleh jujur, Gendhis juga memiliki mata indah dan senyum menawan dengan dekik di pipinya.

"Dewa!"

"Ya?"

"Gue tahu apa yang lo pikir!"

"Sok tahu lu!"

"Serius gue! Lo pasti mikirin dia, kan?"

"CK! Udah, Rob!" protesnya lalu menatap Nino yang tersenyum tipis.

"Kenapa lo?" Dewa menelisik.

"Angka-angka unu membuat gue happy, Wa! Kita bisa melesat kalau selalu kayak gini hasilnya!"

Dewa dan Robi bangkit dari tempat duduk dan bersama melangkah ke arah Nino yang tengah menatap laptopnya.

**

Helaan napas lega keluar dari mulut Gendhis. Tes wawancara sudah dilaluinya baru saja, dan dia pun sudah mendapatkan jawaban atas apa yang dia inginkan yaitu bekerja sebagai staf di perusahaan periklanan itu.

Gendhis memesan taksi online. Siang ini dia harus tetap bekerja di koffe shop, dan tentu saja pekan depan dia sudah tidak lagi berada di sana. Dia akan membuat surat pengunduran diri dan berpamitan pada rekan-rekan kerjanya.

Dia sudah membulatkan tekad untuk memulai jenjang karirnya dari perusahaan itu. Meski sebenarnya jika boleh jujur, hatinya lebih nyaman jika tetap bekerja di tempatnya yang lama. Bibirnya terangkat saat taksi yang dia pesan  sudah sampai.

Selain kepastian dia diterima kerja, ada rasa lega lainnya yang membuat Gendhis merasa hidupnya lebih ringan.

Cicilan utang pertama sudah dia kirim ke rekening Dewa. Gendhis hanya mengirim foto bukti transfer ke ponsel Dewa. Beberapa hari terakhir memang dirinya sama sekali tidak pernah bertemu pria itu.

Lagi-lagi bibirnya melebar saat ingat ucapan Karina, yang nanti akan menjadi pimpinan perusahaan tempat dia bekerja.

"Aku lihat dari cv kamu ... kamu sangat energik. Oh iya , kamu pintar meracik kopi berarti ya?"

"Iya, eum ... bisa dibilang seperti itu meski saya harus belajar lagi."

"Good, sebenarnya keterampilan yang kamu punya ini luar biasa. Selain tentu saja mengembangkan skill yang kamu punya, kamu juga perhatian dengan lingkungan sekitar kamu. Terbukti kamu menggerakkan lingkunganmu dengan membuat kerajinan enceng gondok. Kamu keren!"

"Semoga kamu bisa bekerja sama dengan kami dan ... selamat bergabung. Pekan depan adalah hari pertama kamu."

Gendhis menarik napas dalam-dalam kembali mengingat sambutan Karina yang ramah. Meski nanti tidak hanya dia yang bekerja di sana, tetapi mengingat pimpinan perusahaan itu sangat baik, tentu atmosfer kerjanya juga akan baik.

Setidaknya Kita (Sempat) Bersama (Sudah Terbit Ebook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang