Jonathan terbahak melihat ekspresi Dewa saat mempertanyakan soal Gendhis. Rekan kerjanya itu rupanya sudah sedikit mencium aroma aneh pada perhatian Dewa terhadap karyawan mereka.
Malam itu setelah mengantar Karina pulang ke rumahnya, Dewa menyempatkan mampir ke kediaman Jonathan meski malam sudah larut.
"Please! Lo kenapa, Wa! Kenapa segitu penasarannya lo sampai nanyain soal Gendhis?"
Dewa menarik napas dalam-dalam sembari mengusap tengkuk.
"Dia, 'kan karyawan gue juga, Jo! Lo sendiri yang bilang kita harus memperlakukan karyawan seperti keluarga, karena kita butuh mereka dan begitu juga sebaliknya. Iya, 'kan?"
"Iya, iya. Li bener. Gue pernah bicara seperti itu, tapi nggak seperti lo, Wa. Masalahnya lo sangat menaruh perhatian hanya pada Gendhis. Sementara Hardi, Dila, Bobi dan yang lainnya lo b aja! Jadi nggak salah, 'kan kalau gue curiga?" Jonathan memberi isyarat dengan dua jadi kiri dan kanan saat mengatakan curiga.
Tak menjawab, Dewa hanya menarik napas dalam-dalam. Jujur entah kenapa ada sudut hati yang berontak ingin kembali mendengar suara dan tawa Gendhis. Seperti ada magnet yang ingin selalu melihat perempuan yang memiliki dekik di kedua pipinya itu.
"Jangan bilang lo mulai main hati, Wa. Jangan bilang hati lo mulai tidak yakin pada pilihan lo!"
Dewa menoleh menatap lekat rekannya.
'Main hati? Apa iya? Apa benar jika dirinya mulai tidak yakin pada Karina?' Dewa menarik napas dalam-dalam seolah ingin meredakan suara-suara dan perasaan yang mulai mengganggu hatinya.
"Nah iya, 'kan? Lo melamun? Benar, 'kan, Bro?"
Dewa tak menjadi, dia kembali ke pertanyaan semula tentang ketidakhadiran Gendhis beberapa hari yang lalu seperti yang diceritakan Robi.
"Dia ada panggilan interview!"
"Interview? Dia mau pindah kerja?"
"Kenapa? Lo keberatan?"
"Ck! Jo! Dia itu punya perjanjian kerja sama aku, kamu tahu, 'kan?"
"Iya gue tahu!"
"Kalau dia pindah kerja lalu bagaimana dengan kerjasama yang sudah disepakati?"
Jonathan tergelak. Lagi-lagi dia merasa tebakannya tidak salah. Dewa telah memiliki perasaan berbeda terhadap anak buah mereka. Gendhis memang berbeda dengan karyawan lainnya.
Sebenarnya Jonathan keberatan jika Gendhis harus mengundurkan diri dari koffe shop itu, karena menurutnya keahlian Gendhis dalam meracik kopi dan keterampilan lainnya sangat susah untuk digantikan.
Pembawaan yang ceria dan sikapnya yang selalu menyenangkan menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung maupun rekan kerjanya. Dia juga tidak segan untuk berbagi kemampuan yang dimiliki.
"Soal perjanjian kerja lo, gue yakin dia tidak akan mangkir, Wa. Lo percaya gue deh!"
"Kok bisa lo seyakin itu?"
"Karena gue yang paling tahu dan pertama kali kenal dia. Gue percaya karena selama dia bekerja di sini, Gendhis tidak pernah membuat gue atau teman yang lain kecewa," ucapnya yakin. "Kecuali lo!" imbuhnya kembali tertawa.
Dewa menyeringai, dia kembali teringat saat pertama kali kenal Gendhis. Memang Gendhis salah saat itu, tapi jika tidak pernah ada kesalahan itu, tentu dia tidak akan kenal perempuan yang memiliki mata indah tersebut.
Entah kenapa dia kini justru bersyukur Gendhis pernah melakukan kesalahan terhadapnya.
"Lo gini deh, mending lo ke koffe shop, lo tanya sendiri ke dia!"
![](https://img.wattpad.com/cover/350985196-288-k113399.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Setidaknya Kita (Sempat) Bersama (Sudah Terbit Ebook)
General FictionMemiliki trauma terhadap pria membuat Gendhis berusaha menutup hatinya meski sang ibu menginginkan agar Gendhis segera memiliki kekasih. Sang ayah yang meninggalkan dia, kakak dan ibunya begitu saja telah menorehkan luka di hatinya. Namun, hati tet...