SKSB 43

506 133 3
                                    

Sejenak mata Gendhis membulat. Suara di sampingnya itu terdengar begitu akrab di telinga. Meski tak yakin, perlahan dia menoleh. Sebuah senyum kecil dengan tatapan yang sulit diartikan tertangkap di mata Gendhis. Lidahnya terasa kelu, seluruh tubuh seakan membeku tatkala menyadari siapa pria yang berdiri di sebelahnya. Sementara dengan santai pria itu bertanya, "Apa kabar, Dis? Sepertinya kamu sudah terbiasa dengan high heels, ya?"

Gendhis masih terjebak pada rasa terkejutnya. Namun, tidak dengan pria di sampingnya. 

"Lain kali kalau pergi ke pesta atau ke mana pun, gaunnya dikoreksi ulang. Bukannya nggak bagus, tapi nggak enak aja dilihat orang banyak," ujarnya sembari mengalihkan pandangan ke arah lain.

Masih terjebak pada rasa terkejut dan beragam perasaan lainnya, bibirnya seperti terkunci. Dia bahkan tidak berani menatap si empunya suara.

"Apa kabar?" tanyanya datar.

"Eum, baik, Mas.  Mas Dewa, apa kabar?" tanyanya di sela-sela suara musik lembut yang mulai mengalun.

Mengedikkan bahu, Dewa mengangguk.

"Seperti yang kamu lihat. Baik."

Menarik napas dalam-dalam, Gendhis mengangguk. Jika saat melupakan Dewa dirinya butuh bertahun-tahun, dan akhirnya melupa, tetapi entah kenapa perasaan yang sudah hilang itu kini seolah datang memenuhi kembali setiap ruang hatinya.

 Desir yang dulu pernah ada kini dengan tidak sopan datang mengalir bersama aliran darah yang memenuhi tubuhnya. Secepat itu rasa tersebut hadir, tanpa peduli seperti apa beratnya dia mengupayakan agar bisa melupakan Dewa.

"Rega mana? Kok aku nggak lihat?" Dewa bertanya seolah mengabaikan ketidaknyamanan Gendhis setelah dikritik soal penampilannya.

Mendengar pertanyaan itu, Gendhis tak menjawab, dia hanya melebarkan bibir. Acara tukar cincin selesai, para undangan diminta untuk duduk, pun demikian dengan Gendhis. 

"Mas Dewa mau ikutan duduk atau mau langsung ...."

Bibir pria yang memiliki cambang tipis itu mengulum senyum. Tak menjawab dia duduk di sebelah Gendhis.

"Kamu belum jawab pertanyaanku."

Kembali lagi, Dewa kembali dengan karakter angkuh meski terkadang sangat manis. Tak ingin masalah pribadinya diketahui, Gendhis balik bertanya, "Mas Dewa nggak ngajak Mbak Karina?"

Tertawa kecil, Dewa menggeleng.

"Nggak. Kenapa emang?"

"Eum ... nggak apa-apa."

Pria berkemeja putih itu menaikkan alisnya.

"Aku dengar kamu sudah punya restoran sendiri. Betul?"

Gendhis mengangguk cepat, tetapi tetap saja dia takut menatap sepasang mata tajam milik pribadi sebelahnya itu. Dia takut jika Dewa tahu seperti apa gejolak yang ada di hatinya saat ini. Dia takut matanya tak bisa berbohong jika rasa rindu yang telah lama dia dia lipat itu kembali berserak di matanya.

Sejenak keduanya saling diam. Sementara alunan musik terdengar begitu indah seolah menyampaikan apa yang kini mereka berdua rasakan.

"Saya dengar Mas Dewa sekarang di luar negeri?"

Dewa mengangguk.

"Iya."

"Mbak Karina?" selidiknya. Meski dia sudah tahu apa yang terjadi pada Dewa, tetapi Gendhis sangat ingin mendengar jawaban pria itu.

"Kenapa Karina? Dia baik, tapi memang nggak ikut balik ke Indonesia," terangnya santai.

Jawaban Dewa membuat Gendhis ragu. Ragu akan cerita yang dia dengar dari Dila. Tersirat dari jawaban Dewa jika hubungannya dengan Karina tidak terjadi apa-apa.

Setidaknya Kita (Sempat) Bersama (Sudah Terbit Ebook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang