Bibir Dila mengerucut mendengar cerita Gendhis. Perempuan yang usianya sama dengan Gendhis itu terlihat ikut khawatir dengan perasaan rekannya."Aku yakin kamu mulai jatuh cinta ke Pak Dewa, dan ... aku curiga dia juga memiliki perasaan yang sama dengan kamu," ungkapnya lalu meneruskan suapan bakso ke mulut.
Gendhis bungkam. Seperti ini rasanya jatuh cinta. Mungkin perasaan ini bukan yang pertama, setidaknya dirinya pernah merasakan hal yang kurang lebih sama di saat sekolah dulu. Lebih tepatnya merasakan cinta monyet. Sudah lama sekali tentu, dan kemudian rasa itu kembali hadir dengan kondisi berbeda.
"Aku takut, Dila. Kamu paham, 'kan apa yang aku takutkan?"
Dila mengangguk.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang?"
"Jauhi dia! Nggak ada jalan lain selain kamu menjauh dari Pak Dewa."
"Aku sudah berupaya untuk menjauh, Dila, tapi lagi-lagi aku bertemu dia."
"Itu karena kamu bekerja di kantor calon istrinya, Gendhis!" Dila kemudian meneguk air jeruk dingin miliknya.
Gendhis kembali bungkam. Saran dan alasan Dila sangat benar dan masuk akal. Bekerja di kantor milik Karina adalah salah satu yang bisa memicu pertemuan dirinya dengan Dewa. Haruskah dia keluar dari kantor itu demi menjaga hatinya? Sementara dia baru saja kerja di tempat itu dan dirinya pun merasakan nyaman bergabung di perusahaan tersebut.
"Kamu tahu, 'kan, Dila? Aku butuh pekerjaan dan baru saja kerja di tempat itu?"
Dila mengangguk.
"Apa iya aku harus resign? Padahal baru juga sebulan aku di sana? Apa kata Mbak Karina dan Mas Rega?"
Gendhis mengaduk bakso yang baru separuh masuk ke perutnya. Angin sore itu bertiup sepoi-sepoi. Mereka berdua memilih makan bakso di tempat favorit mereka yang tidak jauh dari koffe shop milik Jonathan dan Dewa.
"Rumit juga masalahmu." Dila menggumam dengan tangan menyangga dagu.
"Ibumu? Apa beliau tahu soal ini?"
"Iya."
"Lalu?"
"Ibu sudah mengingatkan supaya aku bisa jaga jarak. Karena beliau tidak mau aku dianggap sebagai perempuan pengganggu." Dia lalu menarik napas dalam-dalam. "Aku bingung, Dila."
Sejenak mereka berdua bergeming. Masing-masing dari mereka memikirkan hal yang sama. Ada hal rumit yang harus diputuskan, tetapi untuk mengambil keputusan itu pun tidak bisa dilakukan gegabah.
"Gendhis."
"Ya?"
"Kamu bilang ... kalau mereka punya beberapa kantor cabang di luar kota?"
"Iya. Kenapa?"
"Kenapa kamu nggak minta ditempatkan di luar kota aja?"
Gendhis menatap wajah rekannya sejenak lalu kembali menarik napas dalam-dalam. Ke luar kota? Itu artinya dia akan jauh dari ibu dan Rezki. Bagaimana jika mereka membutuhkan dirinya sementara dia berada di tempat lain? Apakah buleknya bisa menjadi seseorang yang bisa diandalkan saat kedua orang yang dia kasihi itu membutuhkan dirinya?
"Bisa, 'kan kamu minta pindah kantor misalnya? Atau apalah alasanmu supaya nggak lagi berkantor di tempat itu. Asal ...."
"Asal apa?"
"Ya asal Dewa nggak tahu aja, aku sih khawatirnya kalau dia tahu terus malah dia Ngajukan keberatan ke Karina atau malah nyamperin kamu ke tempat baru kamu," jelasnya seperti kehilangan cara agar Gendhis bisa menjauh dari Dewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setidaknya Kita (Sempat) Bersama (Sudah Terbit Ebook)
Ficción GeneralMemiliki trauma terhadap pria membuat Gendhis berusaha menutup hatinya meski sang ibu menginginkan agar Gendhis segera memiliki kekasih. Sang ayah yang meninggalkan dia, kakak dan ibunya begitu saja telah menorehkan luka di hatinya. Namun, hati tet...