SKSB 30

680 157 15
                                    

Sekali sentuh, nomor Dewa sudah resmi diblokir oleh Gendhis. Dia sadar jika dirinya tidak mungkin berada dalam perasaan yang sama sekali jauh dari kata mungkin.

Semenjak semua pinjamannya ke Dewa selesai, dirinya bisa kembali menata hidup. Meski tentu saja manata perasaan tidak semudah yang menata hal lain.

Bekerja di luar kota dengan kondisi jauh dari ibu dan Rezki justru membuat semangatnya membara. Semua pekerjaan bisa dia kerjakan dengan cepat dan berharap dia pekan sekali bisa pulang bertemu dia orang yang dicintainya.

Kemarin ketika Rega menunjukkan rumah yang akan dia tinggali, Gendhis menolak. Dirinya merasa tidak nyaman jika tinggal sendiri di rumah yang menurutnya cukup besar untuk ditinggali sendiri. Hingga akhirnya Rega mengangguk saat dia mengajukan permintaan agar indekos saja.

"Satu kamar sudah cukup buat saya, Mas Re."

"Kamu yakin kamu bisa nyaman?"

Dia mengangguk.

Akhirnya Rega menghubungi Pak Rudi yang menjadi pengawas sekaligus orang kepercayaannya di kota itu untuk mencarikan tempat kos yang tidak jauh dari lokasi kantornya.

Sebuah kamar yang nyaman dilengkapi dengan dapur dan kamar mandi membuat Gendhis tersenyum senang.

"Aku harap kamu menyukai tempat kamu yang baru."

Bibir Gendhis menyungging senyum saat teringat Rega memberinya boneka kelinci kala dia harus kembali ke kotanya.

"Buat teman, kalau sepi." Demikian pesannya sambil tertawa kecil yang membuat gigi gingsulnya terlihat. Sangat manis! 

"Ya Tuhan! Kenapa aku ini?" gumamnya sembari menatap boneka berwarna merah muda itu.

Dering telepon mengalihkan lamunannya. 

"Ibu, assalamualaikum, apa kabar?"

"Baik, waalaikumussalam. Kamu sudah makan?"

Gendhis tersenyum. Pertanyaan yang selalu dia dengar itu sama sekali tidak pernah berubah. Pertanyaan saat dia pulang kerja dan hingga kini mereka berjauhan.

"Sudah, Bu. Tadi Gendhis masak nggak beli seperti yang Ibu bilang."

"Alhamdulillah."

"Tumben, Bu? Sore telepon?  Kan biasanya malam atau pagi sambil bangunin Gendhis."

"Gendhis." Suara ibunya terdengar serius.

"Ada apa, Bu?"

"Di ruang tamu ada Dewa. Ibu  nggak enak karena setidaknya tiga atau empat hari sekali Dewa datang ke sini membawakan makanan dan mainan untuk Rezki."

Hari Gendhis menghangat kembali. Perasaan yang dia rasakan dan hampir hilang itu kembali hadir perlahan. Hangat menjalar ke seluruh tubuhnya. Tiga atau empat hari sekali, itu artinya Dewa tidak lupa pada ucapannya meski waktu itu dia tidak berjanji. 

"Apa kamu tahu soal ini? Apa Dewa cerita?" Kembali suara ibunya terdengar.

"Enggak, Bu. Nomor Mas Dewa sudah Gendhis blokir."

Helaan napas terdengar dari ibunya.

"Apa dia tidak bilang ke Ibu soal Gendhis memblokir nomornya?"

"Nggak, dan dia pun nggak pernah bertanya tentang kamu ke Ibu."

Mendadak Gendhis merasa malu. Malu karena dia merasa telah bermain sendiri dengan perasaannya. Tidak! Tentu saja hanya perasaannya dan bukan perasaan Dewa. 

Setidaknya Kita (Sempat) Bersama (Sudah Terbit Ebook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang