Dewa menyesap kopi yang baru saja disodorkan Gendhis."Not bad," ujarnya kembali menikmati Kopi Americano itu hingga tersisa separuh. "Sejak kamu buatkan waktu itu, aku belum pernah mencicipi kopi jenis ini lagi."
"Mas Dewa suka?"
Dia mengangguk. "Ternyata ini bisa jadi alternatif kalau aku bosan minum cofe noir."
Gendhis mengangguk sembari tersenyum. Sejenak keduanya saling diam.
"Boleh aku tanya sesuatu?" Dewa membuka pembicaraan.
"Boleh, Mas."
"Lima tahun yang lalu, kenapa kamu nggak datang?"
Wajahnya terangkat menatap ragu pada Dewa.
"Lima tahun yang lalu, waktu itu kamu bilang karena menghormati Rega. Apa itu betul?"
Gendhis mengangguk samar. Memorinya mengantar pada kejadian lima tahun yang lalu. Kala di mana Dewa memintanya untuk datang ke Cherry Bean Coffe.
"Apa benar kamu kala itu mencintai Rega?"
Pertanyaan Dewa semakin memporak-porandakan hatinya yang tanpa diketahui sudah demikian berantakan sejak mereka bertemu di acara Dila tadi.
"Gendhis?"
"Eum ... kenapa Mas Dewa tanya seperti itu?"
Dewa menaikkan alisnya. Sembari menggeleng dia berkata, "Aku cuma ingin tahu, kalau waktu itu kamu benar cinta sama Rega, seharusnya kalian sekarang sudah menjadi keluarga yang bahagia. Betul, 'kan?"
Tak menyahut, Gendhis kembali menunduk.
"Itu murni karena saya ...."
"Kenapa?"
"Ada masalah sama Rega?"
"Nggak, Mas. Mas Rega baik."
"Lalu?" Dewa terus mencoba mengulik jawaban dari Gendhis.
"Mungkin memang kami tidak berjodoh."
Mengangguk kecil, Dewa menautkan kedua alisnya.
"Mas Rega baik, dan saya khawatir tidak bisa memberikan kebahagiaan seperti yang Mas Rega inginkan. Jadi saya memilih mundur," imbuhnya dengan jemari saling bertaut.
Menarik napas dalam-dalam, Gendhis mengangkat wajahnya memberanikan diri menatap paras pria yang telah memberinya rasa.
"Apa Mbak Karina nggak cerita?"
Dewa hanya mengedikkan bahu.
"Jadi kamu yang memutuskan untuk mundur?"
"Mungkin lebih tepatnya karena kesepakatan kami. Mas Rega tahu dan memahami saya. Hingga meski mungkin berat, kami berdua harus bersikap realistis."
Bibirnya tertarik singkat mendengar penjelasan Gendhis.
"Mas Dewa belum menjawab pertanyaan saya soal Mbak Karina."
"Apa yang kamu ingin tahu soal dia?"
"Sudah lama juga nggak ketemu, apa Mas Dewa sudah punya anak? Apa Mbak Karina sudah hamil anak kedua atau ...." Meski lebih terdengar memancing sebuah pernyataan, tetapi bagi Gendhis dia harus mendengar kabar dari Dila itu langsung dari Dewa.
Dewa tak sanggup menyembunyikan tawa mendengar pertanyaan polos perempuan di depannya.
"Kenapa ketawa, Mas? Emang ada yang lucu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Setidaknya Kita (Sempat) Bersama (Sudah Terbit Ebook)
Ficción GeneralMemiliki trauma terhadap pria membuat Gendhis berusaha menutup hatinya meski sang ibu menginginkan agar Gendhis segera memiliki kekasih. Sang ayah yang meninggalkan dia, kakak dan ibunya begitu saja telah menorehkan luka di hatinya. Namun, hati tet...