Kisah - III

1K 109 10
                                    

Mengingat besok tanggal merah, Ali menepati janjinya pada Aqila. Dari jauh-jauh hari Aqila merengek ingin menginap dirumah Eyang Gita, yakni ibu dari Prilly. Aqila cukup dekat dengan Eyang Gita, apa lagi disana ada teman sebayanya, cucu Gita bernama Tika. Hal itu menjadi alasan mengapa Aqila begitu bersemangat.

Seusai mengantar Aqila ke rumah Eyangnya. Bisa-bisanya Prilly sempat mengira jika Ali akan mengajaknya quality time, misalnya makan berdua, jalan-jalan berdua, atau minimal mampir ketempat destinasi sebentar saja. Namun mustahil semua hayalannya runyam, Ali justru memiliki janji dengan pegawainya. Alasan itu membuat mereka harus segera pulang setelah mengantar Aqila. Menyebalkan.

Gerbang menjulang tinggi terbuka lebar, mobil Ali berhenti setelah memasuki pelataran rumahnya. Sesaat Aliga membenarkan tatanan rambutnya agar terlihat tidak berantakan. Barulah Ali turun dari mobil disusul oleh Prilly yang membuntuti pria itu dari arah belakang.

"Pak Dayat sudah datang?" Tanya Ali pada security penjaga rumah yang berdiri menyambut kedatangannya. Semenjak kejadian perampokan tempo hari, keamanan dirumahnya semakin dijaga ketat.

"Sudah Pak. Sudah ada didalam, menunggu bapak diruang tamu," ucap Security menjawab dengan setengah menunduk, menghormati sang majikan.

"Mas Ali, aku ke kamar ya," Sesampainya didepan pintu masuk, Prilly berbisik meminta izin agar dirinya tak ikut menemui tamu.

Tanpa bersuara Ali menyetujui dengan anggukan, Aliga memaklumi, sebab tamu yang datang tidak ada kaitannya dengan istrinya. Lantas dia meneruskan langkah kakinya menuju ruang tamu. Sedangkan Prilly memilih jalan yang berlainan arah.

Mendudukan diri pada permukaan sofa, Aliga memusatkan atensinya pada Dayat, pria setengah paruh baya yang duduk dihadapannya. Dayat tidak benar-benar sendiri, disampingnya ada sosok gadis muda yang terduduk tenang sambil menudukkan wajah.

Sekilas gerakan mata Aliga teralihkan, menilai keberadaan gadis itu. Ali tak merasa keberatan sedikitpun, tetap fokus hanya pada Dayat. Tak ingin berbasa-basi, Ali bertanya ke titik intinya. "Gimana Pak Dayat, ada kabar apa?"

"Saya bawa putri saya namanya Sela, ayo salim sama Pak Aliga," Perintah Dayat. Dayat menyikut pinggang anak gadisnya itu yang langsung beranjak dari duduknya.

Gadis yang di ketahui namanya Sela itu, tersenyum malu-malu seraya menghampiri Ali. Setelah menyalimi punggung tangan Ali, Sela kembali duduk disamping sang ayah, sembari memandangi Aliga dengan sorotan kagum. Dua kata yang terlintas dalam pikiran Sela, yakni tampan dan berwibawa.

"Sela ini baru lulus SMA Pak, umurnya delapan belas tahun," Tanpa ditanya Dayat mencuri kesempatan untuk menceritakan tentang Sela.

Ali mendatarkan wajahnya. Tampak risih diperhatikan Sela begitu dalam, Ali mengalihkan tatapannya menjadi lurus kearah Dayat.

"Jadi gimana dengan rencana pembangunan di lahan Santoso, sudah dapat perizinannya?" Ucap Ali mengalihkan topik. Ali tampak tak tertarik untuk berlama-lama membahas diluar pekerjaan.

"Sudah Pak. Soal perizinan sudah saya atur sudah beres dilapangan, tinggal proses pengerjaannya saja,"

Otak manusia memang lebih cepat bekerja pada hal yang negatif, Aliga bersugesti jika kedatangan Dayat ada niat terselubung. perasaanya mulai tidak enak. "Lantas apa kedatangan Pak Dayat kemari?"

"Saya mohon maaf pak sebelumnya jika saya lancang."

"Tidak apa Pak Dayat bicara saja, jika butuh biaya jangan sungkan. Tapi harus jelas alasannya untuk apa," Ali mencoba berpikir jernih, mungkin saja Dayat tengah mengalami masalah pribadi dan membutuhkan bantuan dana.

"Bukan itu pak--" Sahut Dayat sedikit menggantung sebelum akhirnya dia melanjutkan ucapannya. "Saya ingin menjodohkan anak saya dengan bapak."

Ali mengerutkan keningnya bingung, ia mengarahkan mata tajamnya menatap kedua mata Pria setengah paruh baya itu didepannya.

Terpaut KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang