Kisah - XXII

1.1K 152 23
                                    

Diambang pintu Aliga berdiri menghalangi langkah Gita yang hendak memasuki kamar Prilly, kamar semasa istrinya masih tinggal dirumah Gita.

Sekilas Aliga melirik tangan kanan Gita yang tampak membawa botol berukuran kecil berisi minyak kayu putih.  Lantas saja pria itu berinisiatif mengajukan diri.

"Biar saya saja Bu."

"Kemungkinan Prilly masuk angin, biasanya Prilly itu kalau kecapean kerja suka mual-mual," Gita memberikan minyak kayu putih nya pada Aliga. "Ibu buatin jahe dulu kalau gitu. Badannya Prilly tolong dibalurin pakai minyak ya, Nak."

"Iya Bu, saya permisi ke kamar." Pamit Aliga, lalu menutup pintu.

Setibanya didalam kamar, Aliga kembali menghampiri istrinya. Mendudukkan diri ditepi kasur, bersebelahan dengan Prilly yang sedang memainkan ponsel.

"Jangan main handphone dulu, tambah pusing nanti, ayo ditaruh." Titah Ali.

Sadar akan kehadiran Aliga disampingnya, Prilly langsung menggeser posisi duduknya mendekati Aliga. Saat keduanya tak lagi berjarak, tak ada sungkan bagi Prilly untuk menyandarkan kepalanya dipundak Aliga.

Akan tetapi, hirauan Aliga tak kunjung digubris oleh Prilly yang masih asyik menatap layar kaca pada benda pipih itu. Aliga pun geram, dia merebut ponsel milik Prilly, kemudian meletakkan diatas nakas.

Prilly membentuk garis bibirnya lurus. "Aku lagi balas WA grup, Mas."

"Dibilangin itu nurut. Saya jadi gak enak sama Ibu, dipikirnya saya nyuruh kamu kerja capek-capek sampai kamu sakit?!" Hardiknya. Aliga spontan terdiam saat tahu nada bicaranya terlalu keras pada Prilly. Pria itu terbiasa tegas dan tidak suka dibantah.

Sementara Prilly menghamburkan tubuhnya untuk memeluk Aliga dari samping. Tak mempedulikan soal Aliga yang memarahinya. Toh, dia sudah kebal.

"Mas Ali, tapi durian itu baunya aneh. Aku enek banget." Cicit Prilly mengadu layaknya pada orangtuanya.

Aliga merasa tak keberatan tubuhnya direngkuh, dia tidak protes. Justru bertanya bingung ketika menyadari Prilly mengubah pembicaraan. "Aneh gimana? Bukanya bau durian memang menyengat?"

"Aku gak tau tiba-tiba jadi gak suka, padahal aku kalau dengar soal durian pasti aku selalu makan."

"Kata ibu kamu suka mual-mual kalau kecapean? Kamu itu kan kemarin-kemarin sering pulang sore, bahkan malam. Terlalu dipaksakan. Kamu itu mudah sekali sakit."

"Aku gak sakit kok Mas, cuman karena bau durian itu aja, berbeda dari durian biasanya." Prilly menyangkal tudingan Aliga dengan hati-hati, agar pria itu tak tersinggung. Tapi, kenapa semakin hari Aliga itu semakin banyak bicara? Tidak seperti dulu yang bicaranya irit dan selalu banyak diam. Boro-boro mau peduli.

"Sekarang masih mual?" Tangan Aliga mendarat dibahu Prilly, menyingkirkan rambut-rambut nakal istrinya yang tergerai, ditumpukkan menjadi satu hingga menghala ke depan. Kemudian, tangan satunya  hendak membuka botol minyak kayu putih.

"Aku sendiri aja Mas." Tak menjawab pertanyaan Aliga, melainkan Prilly ingin meraih minyak kayu putih yang ada digenggaman suaminya itu. Namun, Aliga cepat-cepat menjauhinya.

"Saya saja, kamu diam."

Prilly menghela napas seraya mengurai pelukannya.

Percuma melawan, Aliga itu sulit ditolak kemauannya. Opsinya ya cuman satu, yaitu, menurut.

Setelah berhasil membuka botol minyak kayu putihnya, Ali tuangkan minyak itu sedikit demi sedikit ditangannya. Lalu meletakkan tangannya di tengkuk istrinya yang sedari tadi sudah tak berhijab. Aliga mengusapnya perlahan sampai rata keseluruhan leher hingga bahu.

Terpaut KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang