Kisah - XII

1.2K 140 27
                                    

"Yang indah hanya sementara, yang abadi adalah kenangan yang ikhlas hanya dari hati, dan yang tulus hanya dari sanubari".

🌿🌿🌿


Disepanjang perjalanan pulang, hanya ada suara radio yang menemani keheningan antar keduanya didalam mobil. Bila tanpa Aqila momen awkward atau canggung seringkali mereka alami. Bahkan Prilly yang biasanya mengajak Ali mengobrol pun, kali ini ia memilih lebih banyak diam. Larut pada pikiran masing-masing.

"Kok arahnya kesini? Kita mau kemana Mas?"

Prilly menoleh kesamping. Kontan raut wajahnya bingung menatap Aliga, saat suaminya itu kini tengah melajukan mobilnya menelusuri selak-beluk keramaian jalan raya. Lalu, melewati gapura perumahan warga. Yang jelas ini bukanlah kawasan rumah mereka. 

"Kita ke rumah saya yang ada di jalan Kenanga. Sore ini saya mengadakan tasyakuran kecil-kecilan dengan anak panti." Jawab Aliga. Pandangan pria itu tetap lurus, fokus menyetir.

Bukanlah Aliga jika segala sesuatunya tidak serba mendadak. Enggan baginya untuk bercerita bila tidak ditanya. Tau-tau sudah memutuskan sendiri dan istrinya dituntut harus mengikuti semua kemauanya.

"Kenapa gak diadakan dirumah--"

Prilly hendak berpendapat. Namun belum sempat selesai ia berbicara. Aliga lebih dulu menyangkalnya.

"Acara pengajian ataupun tasyakuran sudah biasa diadakan di rumah Kenanga. Yaitu, rumah peninggalan keluarga, rumah itu sangat meninggalkan banyak kenangan, bisa dibilang tempat bersejarah keluarga saya merintis. Tasyakuran ini adalah acara tradisi keluarga saya, atas bentuk mensyukuri nikmat Allah. Saya perlu meneruskan amanah ini untuk keluarga. Sekalian mendoakan keluarga saya yang sudah lebih dulu berpulang."

Menyimak kata demi kata yang dilontarkan Aliga. Prilly cukup dibuat terkesima mendengarnya.

Pernikahan mereka sudah genap delapan bulan, namun masih minim pendekatan yang terjalin. Aliga cenderung tertutup, baru-baru ini saja Aliga mau bercerita banyak tentang tradisi keluarganya yang berada di jalan Kenanga. Yang Prilly tahu rumah itu adalah rumah keluarga Ali yang sudah tak berpenghuni, namun masih dirawat baik oleh Ali.

Rupanya, Aliga begitu menjaga nama baik keluarganya. Sebab, latar belakang keluarga Bahteramsyah dikenal sebagai keluarga yang dermawan sering berbagi dan dekat dengan masyarakat.

Terlebih, mendiang Danif Bahteramsyah yakni, orangtua Aliga pernah menjabat sebagai seorang walikota. Melalui program-program inovasinya yang dicetuskan Danif, berhasil membawa pencapaian perubahan kota. Menjadikan nama Bahteramsyah dihormati dan dikenang atas segala prestasinya.

Alis Prilly terpaut. Lantas ia bertanya, "Kalau rumah ini meninggalkan banyak kenangan kenapa Mas Ali gak memilih tinggal disini?"

"Karena meninggalkan banyak kenangan, saya tidak sanggup selalu mengingat membayangkan mereka." Ujarnya. Aliga menepikan mobilnya dipelataran rumah, kemudian wajahnya sedikit menunduk. Muram.

"Pasti berat dan gak mudah ya untuk melepaskannya. Aku tau rasanya kehilangan, aku juga kehilangan ayah aku," Prilly berinisiatif mengulurkan tangannya untuk mengusap punggung Aliga. Menenangkan pria itu. "Semua juga tau Mas, kalau takdir manusia didunia gak mungkin hidup selamanya.. cepat atau lambat orang-orang yang kita sayang akan pergi, cuman kita gak tahu waktunya kapan. Jadi mau gak mau ya siap untuk bisa mengikhlaskan, sewaktu-waktu mereka mendadak pergi,"

"Mas?"

Seketika gestur Aliga berubah. Diam tak bersuara, tubuhnya sedikit gemetar.

"Kamu baik-baik aja?"

Terpaut KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang