Kisah - XXXII

891 129 40
                                    


Bertepatan dengan libur panjang, sekolah Pelita Bangsa memanfaatkan momen tersebut sebagai ajang Field Trip sekaligus raker direktorat sekolah. Menghadapi kegiatan tersebut, pagi-pagi sekali Prilly telah tuntas mengemasi berbagai barang-barang keperluannya. Kemudian sekiranya sudah lengkap ia bergegas keluar dari kamarnya, yakni kamar segudang memori semasa kecilnya kala masih tinggal dirumah Gita.

Ketika langkah kakinya mengitari ruang tengah, Prilly mendapati Aziz yang baru saja masuk kedalam rumah sembari menenteng kantong plastik berisikan banyak porsi makanan. Sepertinya laki-laki itu seusai membeli sarapan diluar untuk orang rumah.

"Udah rapi aja Ding. Sarapan dulu ayo, " Ajak Aziz, dia menaruh tentenganya diatas meja seraya menarik kursi untuk dia duduki disana.

Prilly menjawab dengan anggukkan, mengikuti pergerakan Aziz setelah meletakkan barang-barangnya di sofa ruang tamu. Lantas dia bergabung dengan Aziz, mengisi perutnya yang kosong sebelum memulai aktivitas.

"Buat pergi udah bawa bekal 'kan? Mau Abang tambah gak? Abang belikan dulu mau nunggu? Bawa jaket disana pasti dingin, gak lupa bawa obat-obatan juga 'kan? Hayo jangan ada yang ketinggalan ya Ding, " Tanyanya. Bukan sekadar basa-basi yang Prilly tahu Aziz memang selalu sungguhan dalam menawari sesuatu. Jika soal perhatian laki-laki itu dari dulu nomor satu.

Kekehan Prilly menguar, dia menepuk lengan Aziz pelan. "Ihh! aku udah kaya anak kecil aja. Udah Bang, udah cukup, udah aku bawa semua yang Abang bilang. Makasih Abang!"

"Kamu emang masih kecil dimata Abang." Aziz turut tertawa ringan menanggapi. Dengan telaten Aziz mengeluarkan dan menata beberapa bungkus nasi kuning khas yang tadi ia beli untuk orang rumah, terutama untuk Prilly dan dirinya. Lantaran sebagian orang rumah masih bersantai-santai didalam kamar. Biasanya kalau hari libur mereka sarapannya agak telat.

"aku udah kepala dua Bang, masih aja!" Prilly yang baru saja mengambil keperluan alat makan didapur ia pun menyeletuk.

"Seperti biasa ya Bang aku setengah porsi aja, sisanya buat Abang." Pinta Prilly menyapu setengah nasinya dengan sendok kepiring Aziz, lalu ia menjatuhkan bokongnya untuk duduk disamping laki-laki itu.

"Nanti Abang buncit, Ding. Masih pagi," Aziz yang menerimanya, dia menggaruk tengkuknya bingung.

"Kan emang udah buncit, biar makin gemoy Bang," jahil Prilly terkekeh.

Tak perlu diherankan, semasa masih tinggal bersama, Prilly memang selalu menyisihkan separuh makanannya untuk Aziz. Karena porsi makan yang ia makan tidak terlalu banyak.

Kepala Aziz tergeleng-geleng, dia hanya bisa pasrah dengan kelakuan sang adik.

"Abang beneran nih gak ikut nemenin kamu aja pergi ke puncaknya?" Ditengah-tengah mereka menikmati makanan, Aziz membahas perihal dirinya yang sempat diminta Aliga agar ikut dengan Prilly ke acara sekolah. Aziz pun tak keberatan sebenarnya, hanya saja dia sedikit geli mengetahui sikap Aliga yang bisa dibilang posesif. Sampai-sampai Prilly  harus ditemani? Bahkan Aziz tidak kepikiran hal itu.

"Jangan Bang, bukannya apa-apa nih.. kasian kan Kak Salma sama anak-anak ditinggal bapaknya. Mereka juga mau liburan sama Abang."

"Nanti suami kamu marah sama Abang gak? Tapi katanya nanti ada orang kepercayaan Aliga menyusul ikut kesana ya?"

"Mana berani dia marahin  Abang," Prilly tersenyum miring, lebih tepatnya dia menepis keresahan Aziz.

"Iya Bang kalau nggak di iyain aku gak boleh pergi tau! parah 'kan?" Adunya berkata lirih. Masih berantusias, Prilly melanjutkan kekesalannya. "Mas Aliga itu aneh, pakai minta-minta Bang Aziz nemenin aku segala, dikira Abang ini masih single kali."

Terpaut KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang