Kisah - VI

1K 127 20
                                    

Setiap menghadapi momen pengambilan keputusan, Prilly sadar bahwa akan selalu ada dua sisi berbeda pada diri manusia yang dapat menimbulkan perang batin. Dua sisi ini selalu memberikan kesan bimbang, sebab menentukan pilihan bisa menjadi pertimbangan ketika memiliki masalah. Masalah, apa pun itu, sering kali menuntut menentukan pilihan untuk menyelesaikannya.

Baik atau buruk? semua pilihan tersebut pasti memiliki risiko yang perlu dihadapi.

Demikian pula yang Prilly alami. Siang tadi ia melewati momen kegiatan tambahan yang begitu mendadak berupa rapat guru dengan para staff lainnya yang diadakan selama dua jam. Disamping itu Prilly juga perlu menjamin Aqila yang sudah sampai dirumah bersama Pak Darus, yakni supir keluarga. Lantaran Aqila pulang lebih dulu dari padanya yang sering kali masih ada keperluan di sekolah.

Waktu menunjukan pukul setengah empat sore, Prilly mengemasi barang-barangnya kedalam tas serta merapihkan meja kerjanya untuk besiap-siap pulang. Tujuannya bukanlah pulang kerumah, melainkan Prilly menepati janjinya pada Zafar sesuai kesepakatan mereka dipagi hari.

Singkatnya, kini mereka sudah berada diluar area bookstore, Zafar yang tengah menenteng boks besar berisikan buku, berjalan ketempat restoran makanan khas Korea. Seusai mereka membeli keperluan buku-buku untuk perpustakaan sekolah Zafar bermaksud mengajak Prilly untuk makan bersama.

"Bu Prilly masuk duluan aja pilih meja. Saya ke mobil dulu naruh barang-barang."

"Kita gak langsung pulang aja pak?"

"Kan ini keperluan saya, saya yang ngajak pergi, masa pergi gak makan nanti masuk angin. Kalau sakit, nanti ibu gak bisa ngajar anak muridnya gimana?"

Prilly menimbang sebentar, kemudian mengangguk. "Yaudah pak. Kalau gitu saya pesan makanan duluan ya."

"Oke. Bentar ya Bu."

Tidak berselang lama. Zafar pun yang telah menaruh barang-barang perlengkapan sekolah ke dalam mobilnya, Zafar mencari Prilly dengan memasuki resto, matanya menjelajah ke sekeliling untuk mencari sosok perempuan itu. Prilly memanggil Zafar sambil melambaikan tangannya, begitu mata mereka bertemu Zafar langsung menghampirinya sambil tersenyum.

Duduk saling berhadapan, Zafar memesan Ramyeon dan segelas kopi. Usai itu, ia menarik napas sebelum memulai obrolannya. Dimulai dari basa-basi sejenak. "Bu Prilly biasanya sama anak dan suami jalan-jalannya kemana aja bu?"

"Kami sama-sama sibuk pak, jarang ada waktu.. dihari libur juga terkadang ada kerjaan tambahan."

"Harusnya punya waktu luang untuk keluarga bu. Saya aja sudah ada planning kalau nanti libur semester niatnya mau ke Semarang."

"Sama calonnya ya pak?"

Tawa Zafar pecah. Kepalanya tergeleng menatap Prilly. "Bukan bu. Sama adik dan orang tua aja sih.."

"Pak Zafar kenapa masih memilih untuk sendiri? Padahal umur bapak sudah kepala tiga kan?" Tanya Prilly, seraya menyendok nasi dan potongan Korean fried chicken lalu mengunyahnya. Sadar atau tidak ucapannya barusan justru mengarah ke-hal yang mungkin dapat menyinggung lawan bicaranya.

Zafar bergeming, dia merundukkan kepala. Lalu melempar pandangan ke arah lain sambil menghela napas panjang.

Kernyitan halus menghias kening PrIlly. "Maa-- aaf pak. Apa masih karena saya ya?"

Zafar kembali menatapnya dengan tatapan tak gentar. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis. "Gak pa-pa Bu, saya sudah ikhlas kok. Kalau Bu Prilly sama Pak Ali. Tapi saya percaya kalau jodoh itu nggak akan kemana Bu."

Bagaimana Prilly tidak merasa bersalah. Pria yang duduk dihadapannya adalah orang yang paling berperan besar dalam cikal bakal pekerjaanya yang ia ampu sekarang ini. Zafar adalah orang perantara yang sudah menyalurkannya menjadi guru di sekolah Aqila.

Terpaut KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang