Kisah - XI

1.2K 135 11
                                    




Memasuki kawasan pusat bisnis. Mobil sedan hitam milik Aliga terhenti sempurna didepan lobby perkantoran menejerial. Disana sudah ada beberapa pria tegap berpakaian serba hitam dengan wajah kaku yang berbaris rapih. Serentak para petugas tersebut dengan sigap mengambil posisi, salah satu dari mereka membukakan pintu mobil hitam itu yang diketahui ialah mobil sang pemilik Bahteramsyah Group.

"Selamat pagi pak Aliga."

Aliga membalas dengan anggukkan seraya keluar dari mobil. Ia membetulkan setelan jas navy nya yang sempat membentuk lekukan garis kecil. Senantiasa Ali begitu selektif dengan penampilannya, tema pakaiannya konsisten tak pernah berubah. Selalu berwarna gelap dan tidak bercorak.

Sementara Prilly yang masih duduk didalam mobil, sejemang ia cukup speechless, batinnya berunding. Kalau saja dia bukan istri Aliga mana mungkin dia diperlakukan khusus seperti ini? Siapa dia? Hanya perempuan biasa. Tapi, mimpinya bisa menjadi kenyataan. Doanya dikabulkan, hajatnya dijabah.

Selain tak putus dari ikhtiar, didunia ini tidak ada yang mustahil bila manusianya mau tekun menjalin komunikasi langsung antara hamba dan Sang Pencipta.

Tak lama dalam lamunan, Prilly turut turun dari mobil setelah pintunya juga dibukakan oleh petugas.

Ali memberikan kunci mobilnya pada petugas, membiarkan petugas itu memarkirkan mobilnya. Rutinitasnya ini sudah menjadi kebiasaannya ketika dia menyetir mobil sendiri tanpa supir.

Disisi lain, di dalam gedung. Ada berbagai pegawai yang berlalu-lalang menyibukkan diri masing-masing untuk memulai aktivitas di pagi hari ini. Sebagian dari mereka mengalihkan atensinya untuk menyoroti sosok bos besar tengah turun dari mobil.

Cukup menarik perhatian, Aliga membawa istrinya kekantor. Hal itu menimbulkan berbagai persepsi para pegawai yang bertanya-tanya. Lantaran kehadiran istri seorang pemimpin perusahaan hanya pernah datang sekali, itu juga ketika ada acara.

Jadi tak heran kenapa mereka sekarang ini berkerumun mengamati gerak-gerik sang atasan.

"Lihat siapa yang datang." Ujar Dito, staf Finance and Treasury.

"Pak Aliga bawa pawang!" Balas Reta, teman Dito, mereka satu departemen.

Sedikit melongo, Santi yang berjalan menenteng laptopnya pun terhenti, berbaur dengan teman-temannya. Ikut menanggapi. "Artinya ini kita di peringatin gak sih jangan deketin dia lagi? Pak Aliga suami orang,"

"Telat, harusnya dari dulu lo pada sadarnya. Terlalu ngarep, Pak Aliga kan menghargai perempuan banget. Mana mungkin dia mau jadiin lo pada selingkuhannya," Sembur Dito terkekeh miris. Bukan lagi jadi rahasia umum. Jika para pegawai wanita disini, rata-rata mereka sangat obses, halu dan berekspektasi lebih dalam mengagumi Aliga.

"Keliatanya didepan gitu, kita mana tau kalau dibelakang?" Sahut Reta sambil mengedikkan bahu.

"Gak peduli mau punya pacar atau istri sekalipun, siapa tau gue yang jadi terakhir?"

Sontak Reta, Dito dan Santi menoleh keasal suara yang terdengar agak ambis. Mereka memandang remeh pegawai baru itu yang bernama Sela.

"Keluarga Bahteramsyah itu terkenal agamis, lo liat istrinya pak Aliga kaya spek istri sholehah?" Dito menyeringai. Menunjukkan rasa gelinya terhadap Sela.

"Nah kali aja Pak Aliga ada niatan poligami kan,"

"Heh, Sela mulut lu!" Omel Dito. Kepalanya tergeleng heran. Setelah berkata demikian Sela melenggang pergi menaiki elevator. Memangnya siapa dia, percara diri sekali?

"Udah semakin mendekat tuh.. Pak Aliga sama Bu Prilly. Ramah guys ramah, kali bulan ini dapet bonus," ucap Santi, seraya memberikan instruksi para pegawai agar menepi. Memberikan jalan untuk Aliga dan istrinya.

Terpaut KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang