Kisah - XVI

1.1K 123 21
                                    

"Siang, pak Aliga,"

Zafar beranjak dari duduknya, menyambut kehadiran seorang pria yang tengah berjalan mendekat dengan langkah besar.

Pria sang pemilik mobil hitam itu yakni Aliga, berpenampilan bussines yang dipadukan oleh sebuah blazer berwarna coklat gelap dengan kemeja lengan panjang berwarna hitam.

Ali berdiri diantara Zafar dan Prilly menatap Zafar dengan sorotan intimidasi. Mata tajamnya beralih menoleh kearah istrinya yang sedang merundukkan wajah. Aliga merasakan ketakutan ada pada diri Prilly. Bak tertanggap basah, perempuan itu terdiam seribu bahasa.

Sementara, Zafar menebak-nebak arti dari tatapan Aliga. Tak ingin ada kesalah pahaman, Zafar berupaya menjelaskan, "Saya kemari karena ada perlu sama bu Prilly, jadi saya mampir sebentar. Tapi sudah selesai pak, kalau gitu saya juga sekalian mau pamit pulang,"

Ali berdeham mencairkan suasana yang berlangsung canggung. Pembawaanya begitu tenang dan santai menghadapi Zafar.

"Kebetulan istri saya habis masak untuk makan siang. Sekalian saja makan bersama?" Ucapnya. Bukan sekedar basa-basi, Aliga tampaknya sengaja ingin mengenal lebih jauh, seberapa dekat Zafar dengan Prilly.

"Terimakasih pak lain waktu saja, saya masih ada urusan lagi disekolah," Ujar Zafar, tersenyum tipis menolak halus. Tungkainya mulai mengayun melewati Aliga. Namun, masih tak jauh dari sana, Aliga bertanya dengan suara baritonnya. Menghentikan langkah Zafar.

"Anda masih menyukai istri saya?"

"Saya--"

Belum sempat Zafar menjawab, Ali menyangkalnya lebih dulu. "Saya tahu kalian sempat memiliki hubungan dekat. Saudara berkedok gebetan contohnya?" Ali membalikkan badan begitu pun dengan Zafar, kini mata mereka saling bersinggungan, "Sampai saat ini anda sadar tidak jika yang Prilly pilih adalah saya? bukan saya meninggi atau besar kepala. Prilly tahu mana pilihan yang tepat, pria yang berkelas dan pantas untuknya. Jadi seharusnya anda tahu diri? Dia sudah menjadi istri orang."

"Mas Ali, udah ya.." Prilly turut membuka suara, untuk menengahi. Ia menatap was-was kedua pria dewasa yang tengah membicarakan seorang perempuan. Dan perempuannya itu adalah dia? Prilly tak ingin berujung keributan. Maka ia menarik lengan Ali, menghentikan keberanian suaminya itu, sebelum terjadi perang dunia kedua.

"Saya dan bu Prilly tidak lebih dari rekan kerja, bahkan saya menganggap bu Prilly adalah adik saya sendiri. Saya sudah ikhlas jika bu Prilly bersama Pak Ali. Jadi tolong pak meskipun bu Prilly sudah menikah, jangan larang saya bertemu dengan dia. Jauh sebelum pak Aliga masuk dan mengambil bu Prilly dari saya, faktanya saya yang lebih dulu mengenal dia. Bahkan saya rela menjadi seasing dan seformal ini ketika bersama bu Prilly, sikap saya tak selepas dulu. Ya itu semua, karena saya menghargai pak Aliga,"

Zafar menyusun kalimatnya dengan penuturan bijaksana, satupun tak ada yang terdengar nada amarah disana. Zafar memberi jeda, sampai dia berucap lagi, "Tapi maaf pak.. kalau sampai saya tahu bu Prilly tidak bahagia karena bapak, tanpa mengurangi rasa hormat saya. Mungkin saja saya akan berubah pikiran dan memperjuangkan bu Prilly kembali."

"Saya pamit, Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Balas Aliga dan Prilly secara bersamaan menatap kepergian Zafar. Prilly tak pernah menyangka jika Zafar akan berbicara terus terang didepan Aliga mengeluarkan ganjalan hatinya. Kesabarannya sudah runtuh?

Membuat Prilly tertampar dan merasa semakin bersalah. Zafar itu baik dan tulus, tapi Prilly nya saja yang bodoh memilih Aliga yang jelas-jelas tak mencintainya. Sebaik-baiknya pilihlah dicintai oleh pasangan. Karena kita yang lebih mencintainya terkadang tak dihargai. Begitu pula dengan gambaran kisah mereka.

Terpaut KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang