Kisah - XX

1.1K 140 24
                                    

"Jadi saya disuruh natap punggung kamu terus nih?"

Hampir saja, Prilly terlelap dalam tidurnya jika saja suara Ali tidak mengganggu telinganya. Sampai membuat Prilly harus menggerutu dan kembali membuka matanya. Tapi tetap diposisi yang sama, berbaring membelakangi Aliga.

"Kamu kalau bersihin kuping berapa kali seminggu?"

Ditiupnya telinga Prilly, hingga udara hangat menerpa permukaan tengkuknya. Prilly menggeliat, dia sedikit menggeser posisinya. Decakan kesal, terdengar dari mulutnya. Tapi hal tersebut, malah membuat Ali terkekeh pelan.

"Kayanya minta dicium dulu baru mau jawab ya, Liy?" nada bicaranya kali ini terdengar lebih dilembutkan.

"Setiap mandi aku bersihin." Tubuh Prilly meremang merespons panggilan Aliga. Suara bas Aliga seakan mampu melunturkan keterdiamannya.

Jujur saja, Prilly malas menanggapi Ali. Mengingat karena pria itu lah alasan mengapa ia bisa berada disini, Aliga menggendongnya hingga masuk ke dalam kamar secara paksa. Tak tanggung-tanggung Aliga juga menyuruhnya agar lebih mau bersabar dan meredam seluruh amarahnya. Sehingga mereka dapat berdamai secara baik-baik.

"Kalau gitu kayanya kamu perlu ke tht."

Ali mengusap telinga Prilly, lalu memainkan ujungnya. Prilly sedikit terusik, lantas dia menepis tangan Aliga. "Apasih Mas.."

"Ya habisnya kamu setiap saya ngomong tidak pernah di dengar."

Helaan napas terdengar berat, Prilly menggeser lagi posisi tubuhnya berlawanan dari Ali. "Tidur Mas udah malem, besok pagi aku kerja."

"Besok saya yang ambil rapor Aqila ya?"

"Gak perlu, aku aja yang wakilin. Mungkin kamu mau pergi lagi sama Mba Erlin dan Aqila." Ucap Prilly menyindir. Bukanlah perempuan namanya kalau tidak mengungkit-ungkit kejadian yang telah terjadi. Lantaran, bayangan foto Erlina yang menyandar dibahu Aliga masih bertalu-talu dikepalanya.

"Oh masih mau dibahas? Bukanya kamu kan yang izinin saya pergi? Ngomongnya iya, tapi hati kamu ternyata gak ikhlas ya?"

Prilly kembali bungkam. Skakmat.

"Perihal menikah lagi, saya tidak akan menikah kalau kamu tidak izinin saya. Jadi, saya ikut mau kamu aja. Jika saya memaksa untuk tetap menikah pun tapi sikap kamu seperti ini sama saya, pastinya setiap hari hidup saya tidak tenang dihantui rasa bersalah, belum lagi dosa. "

Sayangnya, sikap diam Prilly tak membuat Ali mau menyerah. Dia memeluk pinggang Prilly dengan erat. Menyusupkan kepalanya di ceruk leher Prilly, sampai perempuan itu sedikit menegang.

"Jangan khawatir, kamu tau kan saya bukan pria brengsek yang semudah itu mengingkari komitmen. Pegang janji saya."

Prilly masih terdiam, namun dia mencerna semua ucapan tegas Aliga. Suaminya itu jika sudah bicara memang sangat meyakinkan, selama ini janjinya tak pernah ada yang ingkar. Haruskah kali ini Prilly percaya lagi? Ada perasaan lega tersendiri dilubuk hatinya seusai Aliga menenangkannya.

Ali bedeham singkat, mencairkan suasana.

"Soal janji nih ya.. Kamu kan masih punya janji sama saya?" Ali mengecup bahu Prilly, sepertinya dia sengaja menggoda istrinya. "Jangan kira kemarin-kemarin saya biarin kamu tidur sama Aqila terus saya lupa loh ya."

"Janji yang mana?" Prilly bergerak gelisah, ingatan tiga hari yang lalu sebelum Erlina datang kerumahnya terlintas. Saat dimana, suaminya itu memintanya untuk-- hal itu. Sungguh Prilly tak ingin menyebutnya, memalukan, mana mungkin Prilly nekat, menjadi dirinya yang liar. Prilly mencari amannya saja, lebih baik dia melupakannya.

Terpaut KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang