Kisah - XXI

1.2K 148 40
                                    

Mobil Aliga berhenti di sekitar pelataran sekolah. Niat awalnya dia akan meneruskan perjalanannya seusai mengantar Prilly. Namun, sampai saat ini Aliga masih diposisi yang sama, dia mengamati punggung istrinya dari kejauhan yang sedang berjalan kaki.

Perempuan itu menghentikan langkahnya tatkala seorang anak laki-laki berlari menghampirinya. Tak lama, berikutnya datang seorang lelaki yang turut bergabung, tampak mengajak istrinya bercengkerama. Keduanya saling melempar senyuman.

Aliga berkedip dua kali, sedikit menyipitkan kelopak mata untuk memperjelas pandangannya. Tanpa sadar membuat rahangnya mengeras, tangannya mengepal seiring hatinya berkelabu.

Entah mengapa dia selalu merasa tak nyaman setiap melihat istrinya bersama lelaki lain. Biarpun Aliga tahu, pekerjaan perempuan itu berhubungan dengan sosial. Jadi, wajar saja istrinya harus bersikap ramah dan tanggap kepada orang-orang. Akan tetapi, semua itu sulit disangkal oleh Ali. Mungkin inilah salah satu alasan mengapa dia tak ingin istrinya bekerja, hanya saja alasan itu tertutup oleh gengsinya. Tentu dia tak bisa terus terang.

Tiba-tiba saja Ali mengurungkan niatnya untuk mengarahkan mobilnya keluar dari pelataran sekolah. Pria itu justru memarkirkan mobilnya pada tempat parkir yang tersedia, lalu mematikan mesin mobilnya untuk lekas turun dari mobil sedan hitamnya itu.

Diam-diam Ali mengikuti istrinya dari berlainan arah, tak lepas mata tajamnya terus-terusan menghujami gerak-gerik sang istri. Saat Ali hendak melangkah lagi, pundaknya terasa ditepuk oleh tangan seseorang. Sontak saja Aliga menoleh.

"Pagi pak Aliga? Tumen banget nih pagi-pagi. Bu Prilly nya mana pak?"

Aliga menegakkan tubuhnya.

"Pak Rohim? iya nih.. mau ngambil rapor anak pak." Ucapnya, kemudian dia menunjukkan keberadaan Prilly dengan satu jemarinya. "Itu istri saya."

Rohim mengikuti arah yang ditunjukkan Aliga, dia mengangguk mengerti, disusul dengan gelak tawanya. "Sampai datengnya pagi juga ya pak rajin banget, ambil rapor anak apa nemenin istrinya kerja pak?"

Ali hanya tersenyum menyikapi gurauan Rohim.

"Gimana tawaran pak Basuki diterima gak pak? Kami ini sudah menanti-nanti loh penerus Haji Danif berikutnya." Tanya Rohim menggilir topik yang berbeda. Pembicaraan kali ini terdengar serius.

"Masih belum kepikiran pak, karena tanggung jawabnya besar. Saya tidak ingin sampai mengecewakan banyak orang nantinya, apa lagi membuat janji-janji yang belum tentu mampu saya jalanin." Tegas Aliga menjawab.

Obrolan mereka berkaitan dengan Aliga yang akhir-akhir ini sering didesak berbagai pihak untuk segera mencalonkan diri sebagai walikota.

Kendati, semua itu tak bisa Aliga putuskan begitu saja, tentunya memerlukan banyak pertimbangan, belum lagi pekerjaan yang akan semakin double tanggung jawabnya. Jujur saja Aliga tak gila jabatan dan kekuasaan, dia nyaman dengan pekerjaanya yang sekarang.

"Kami semua pasti percaya. Bapaknya saja mampu membuat perubahan kota yang signifikan, anaknya juga pasti bisa dong." Ucap Rohim meyakinkan kebimbangan Aliga.

Rohim tepatnya adalah teman dekat Almarhum Danif, yakni orang tua Aliga. Dulu, Rohim pernah bekerja dengan Danif sebagai koordinasi staf ahli di pemerintahan daerah.

Mengetahui latar belakang keluarga Bahteramsyah memiliki segudang prestasi, Rohim sangat yakin bila darah Danif mengalir pada diri Aliga. Menurut Rohim Karakter keduanya pun nyaris serupa.

"Ibaratnya saya anak baru lahir pak. Jauh berbeda dengan Almarhum bapak saya yang memiliki rekam jejak dibidang politik dan pemerintahan. "

Rohim terkekeh melihat kerendahan diri Aliga yang menjadi ciri khas pria itu didepan publik akan keramahanya dan tidak pernah besar diri.

Terpaut KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang