Ujian Nasional yang sudah didepan mata membuatku melupakan apa-apa yang kemarin membuatku nelangsa.
Aku mematikan ponselku yang sudah mulai terasa panas. Beranjak dari kursi, lalu menuju kamar Kak Ray. Aku mengetuk pintunya, seraya berkata, "knock knock."
"Who's there?"
"Interrupting cow."
"Interrupt-"
"Moooooo,"
Kak Ray terdiam. Dia mungkin belum menangkap maksudnya.
"Ha-"
"Mooooooo,"
Aku pun masuk kedalam kamarnya. Terlihat Kak Ray yang sedang leha-leha.
"Gue-"
"Mooooooo,"
"KAYLA!" Kak Ray mulai kesal.
Aku tertawa terbahak-bahak melihat ekspresinya. Jengkel.
"Keluar lo!"
"Ih, gue bosen dikamar mulu. Belajar, main hape, nonton film, tidur, makan, makan, makan. Gitu aja terus sampe bulu ketek gue beruban!"
"Belajar lagi! Gimana mau masuk SMA favorit?" Kak Ray menatapku tajam, nasihatnya kembali mengalir. "Kalau lo ga belajar juga dari sekarang, lo bakal kena pahitnya menjadi bodoh."
"Ih, amit-amit, naudzubillah!
"Inget, penyesalan datang terakhir!" Tekan Kak Ray yang entah mengapa membuatku terkesiap.
Penyesalan datang terakhir..
Termasuk menyesal karena tak memanfaatkan waktu bersamanya, kah? Termasuk menyesal, karena baru menyadari arti dirinya ketika dia sudah pergi kah?
Aku tak tahu bagaimana rasanya penyesalan, karena aku tahu, sebentar lagi, penantianku akan membuahkan hasil.
Kalau tidak.. Selamat datang, penyesalan.
*****
Lookin' back on the things I've done
I was tryin' to be someone
I played my part, and kept you in the dark
Now let me show you the shape of my heart
Aku menyetel lagu lawas itu keras-keras, tanda sedang tidak ingin diganggu. Tapi ternyata Kak Ray keras kepala juga, dia malah mengetok-ngetok pintu kamarku berkali-kali.
Aku menurunkan volumenya, lalu beranjak dari kasur. Tapi tiba-tiba pintu terbuka tepat setelah aku membuka kuncinya, dan alhasil mengenai jari kaki kelingkingku.
Kalian tahu rasanya bagaimana?
Rasa sakit kedua setelah ditinggal tanpa kabar dengannya, sepertinya.
"SAKIT WOY!" Aku mengaduh sambil memegangi jari kelingkingku. Perih, sekali. Adrian si pembuat masalah berkali-kali minta maaf dan malah kujambak.
"Ampun, Ndoro! Jambak sepuasmu! Tapi maafkan aku!"
"PERIH BANGET, ADRIAN. NGERTI GAK SIH RASANYA?" Aku meringis berkali-kali sampai mengeluarkan air mata. Rasanya aku sudah tak bertenaga lagi. Padahal kelingking jauh sekali dengan saraf pusat.
"Ampun, ampun. Sini, gue pijetin."
"Pala lu, pijetin!" Aku menjitak kepalanya keras. Entah darimana energi itu.
"Gue bawain lo Chatime. Pasti langsung sembuh, deh!"
Mendengar Chatime, minuman favoritku nomor dua, aku langsung lengah. Adrian pun kabur setelah kujambak tadi. Dia mengambil plastik yang entah darimana datang, lalu mengeluarkan segelas Chatime.
"Maaf ya." Dia menyodorkan Chatime yang sudah tertusuk sedotan kepadaku.
"Hmmm," aku menggumam, menikmati Chatime di kasur sambil memegangi jari kaki kelingkingku yang rasanya masih nyut-nyutan. Aku berpaling ke arahnya, "tujuan lo kesini apa?"
Adrian mengacak-acak rambutnya. "Gue bener-bener stress UN."
"Alay lo. Pinter juga. Pasti ada alesan lain. Apaan?"
Aku memandangnya yang terlihat memang desperate. Tapi tidak mungkin karena UN, karena menurutku dia orang pertama yang mengatakan UN itu gampang dan tidak usah ditakutin.
"Gatau, bosen aja gue."
"Gue juga."
"Berarti kita jodoh, dong?" Goda Adrian. Aku meliriknya kesal.
"Yan, kalo lo jadi gue, apa coba yang lo lakukan?" Tanyaku tiba-tiba. Aku yakin Adrian mengerti maksudku.
"Hm? Apa yang gue lakukan kalau ditinggal tanpa say goodbye, tanpa kabar, sama orang yang gue sayangi?" Adrian tampak pura-pura berpikir.
"Ya, dari situ aja udah jelas, Kay. Berarti dia gak peduli atau gak mau lo tau kalau dia pergi."
Aku terdiam.
"Gue sih bakal ngikutin dia aja."
"Apa?"
"Tinggalkan. Kalau gak mau, lupakan. Itu yang dia lakukan, kan?"
*****
"Kay, gue gak ke kantin. Lo jajan sendiri aja, ya?" Rissa yang duduk disebelahku sejak dia hilang menepuk pundakku.
Aku mengangguk-angguk. "Nitip, gak?" Tawarku seraya berdiri.
"Engga, hari ini gue bawa komplit. Sampe jus juga gue bawa. Gue bahkan bawa Good Day kesukaan lo!"
Mataku bersinar melihat botol coklat ditangan Rissa. "Eits, beli makanan dulu! Lo kan belum sarapan. Cepetan!"
Aku cemberut.
"Gausah cemberut! Entar kalo ketemu doi malu. Udah jelek, kurus lagi," kata Rissa sembari terkekeh. Aku mengabaikannya dan bergegas menuju kantin. Setelah membeli makanan yang cukup sampai siang nanti, aku langsung kembali ke kelas.
Aku membeli dua roti, coklat dan keju. Tapi setelah kulihat, aku salah membeli roti! Roti coklat kesukaan Rissa entah kenapa salah kuambil menjadi roti stroberi. Sambil membolak-balikkan rotinya, aku berteriak beberapa langkah dari pintu kelas, "RISSA, SUKA ROTI STROBERI GAK?"
"Suka."
Aku mendongak. Sejak kapan suara Rissa mendadak seperti dia?
Aku terkesiap melihat sosok dihadapanku. Kelas kosong. Hanya ada aku yang di ambang pintu, dan dia ditengah-tengah kelas.
Rasanya seluruh tubuhku tak siap untuk bertemu dengannya, sehingga akupun lari sekuat tenaga. Aku seharusnya senang, melihat dirinya dengan mataku sendiri, melihat dirinya baik-baik saja. Aku seharusnya senang, melihat dia kembali dengan memakai lengkap seragam sekolah.
Air mataku seketika meluruh.
Air mata yang entah menetes karena apa.
*****
HALOOOO AKU KEMBALI. Terimakasih yang sudah mau menunggu, ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
A Journal
Teen FictionKamu bagai pelangi, yang selalu memukau, walau hanya sesaat. Keindahanmu nyata. Tapi kedatanganmu hanya sementara. Hingga aku menganggapmu fana. Pada akhirnya, aku tak tahu bagian mana darimu yang harus aku percayai. Nyata atau fana? © Copyright 20...