6

1.1K 69 0
                                    

Rasanya gimana sih digosipin pacaran sama Gibran yang notabene adalah The Most Wanted Guy se-angkatan.

Suram.

Apalagi ngeliat tatapan-tatapan sangar dari para penggemar Gibran.

Tusuk saja aku, tusuk!

Ah, Gibran memang pembawa sial.

Bukannya menjauh dariku, malah makin dekat.

"Itu yang kemaren ngeliat gue kayak mangsa, pacar lo?" Tanya Gibran sambil meletakkan mangkuk baksonya di hadapanku yang sedang melamun di pojokan kantin.

Oh, iya. Kemarin, gara-gara Kak Ray gabisa jemput, Gibran jadi pahlawan kesiangan gak jelas gitu.

Lalu saat sampai di gerbang rumah, ada Adrian berdiri tak jauh dari pagar rumahku.

Yeah, Adrian (sampai sekarang kita belum kenal secara resmi).

Lalu Adrian mendekat... ke arah kami.

Menatap tepat. Menusuk. Tatapannya tajam menghujam ke arah Gibran. Lalu dia berlalu, kembali jalan entah kemana.

"Hah?"

"Hah hoh hah hoh, mangap mulu lu kayak ikan cupang,"

"Lo melihara ikan cupang di rumah?" Tanyaku lalu menyedot ice lemon tea Marissa yang ia tinggal rapat OSIS tadi.

Gibran melirikku malas dan mengusap wajahnya.

"Itu siapa yang kemaren?"

Lama kelamaan aku tersipu mendengarnya. Aku jadi mengingatnya, lagi dan lagi. Lalu reaksi itu, kupu-kupu berterbangan. Ah, entahlah. Perasaan apa ini.. "Gakenal gue juga."

Gibran melihatku, menilai dari atas sampai bawah.

"Lo suka sama dia, ya? Tapi dia gak peka," tebaknya sok tau sambil mengaduk-adukkan isi jus sirsaknya. Terkadang tersenyum melihat siswi junior. Ugh, tebar pesona.

"Sok tau dah. Orang gue gakenal sama dia," ucapku santai padahal gugup banget.

"Ahaha kasian lo, tetangga baru? Mau kenalan tapi gak kesampean, ya?"

Apakah Gibran seorang cenayang?

"Haha kampret, enggak lah," ujarku dan melotot.

Dia tersenyum mengejek, "mau kenalan? Gue kenal kok sama dia."

"Hah? Dia siapanya elo?" Tanyaku refleks.

"Nah kan. Ketauan!" Ucapnya lalu berlari karena mendengar bel berbunyi, tanda istirahat usai.

Oh tidak. Sepertinya masalahku dengan Gibran akan terus berlanjut.

--------------------------------

Aku menendang-nendang batu kerikil yang ada di hadapanku.

"Sial ugh," rutukku pelan.

"Kenapa waktu itu gue main piano coba? Kalo gak main kan gak bakal ketemu, buku Geo gue gak ketinggalan di dia, terus jadi deket. Sialan Gibran argh," aku kesal. Aku jengkel. Aku ma─

"Aduh, sakit, gila." kudengar suara pengaduhan, suara berat dan serak dari depan. Daritadi aku hanya menunduk, tidak melihat ke depan. Oh, dia siapa..

Aku menengadah.

Adrian.

"Eh.. Maaf. Gak sengaja," kataku pelan.

"Jalan yang bener kek, mencelakakan orang lain kan jadinya."

"Gue juga udah minta maaf, gue gak sengaja." Aku membela diri sendiri, gak sudi juga disalah-salahin.

Dia mengusap wajahnya lalu duduk di pinggir jalan, melihat keadaan kakinya. Lecet, merah-merah. Oh, berdarah!

A JournalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang