Kenapa dunia sempit, sangat? Seolah Indonesia dan Arab jaraknya hanya sejengkal.
Oke, serius.
Adrian, si cowok caffe yang misterius dan dingin itu adalah tetanggaku. Terbukti saat pertama aku liat di taman komplek dengan adiknya, dan sekarang... aku memandangnya dari balkon rumah, dari atas. Mataku menuju ke bawah, dia lagi bersepeda, duduk di kursi yang tak jauh dari rumahku.
Kesempatan dalam kesempitan.
Engga deng.. ini cuma kebetulan kok, aku lagi memandang sunset di sini terus ngeliat dia terus mukanya jadi tampak, uhm, charming gara-gara pantulan cahaya.
OKE STOP KAY.
Tapi, ugh, boleh kan sekali-kali ngeliat wajahnya yang ganteng itu?
Tontonan gratis, lumayan, kan?
--------------------------------
......
"Permainan piano lo bagus," ucap suara dari belakang.
Aku terkesiap dan menoleh ke belakang.
Ugh, Gibran. The Most Wanted Guy. Temen sekelasku. Kapten futsal sekaligus wakil ketua OSIS. Dia ramah, gak playboy. Dia hanya terima saja di dekati cewek, gak mendekat atau menjauh, tapi tetap di posisi sama, ngerti kan? Ngertiin aja deh.
Dan dia pun enggak pernah pacaran! Untuk cowok seperti dia yang sudah hampir mendapati predikat cowok idaman, aku juga gak ngerti kenapa.
"Kok lo disini?" Tanyaku, memalingkan muka darinya dan kembali memainkan tuts-tuts piano lagi.
"Lo ngomong sama piano?" Tanyanya balik. Aku mengernyitkan dahi.
"Kalo lagi ngomong sama orang tuh tatap mukanya, gak sopan kalo kayak gitu." Terdengar suara Gibran mendekat.
"Harus banget ya?"
"Ya kalo mau di hargain sih."
Aku hanya mendengus kesal lalu berbalik berhadapan dengannya.
"Puas?" Dia hanya tersenyum kecil.
"Tadi yang lo mainin Do You ya?" tanyanya sambil duduk disampingku. Iya, di bangku pianonya.
Aku mengangguk.
"Well, to the point aja nih."
Aku mengernyit tak mengerti, apa?
"Gue dapet dare dari temen tadi. Gue disuruh curhat tentang sejarah percintaan gue ke stranger yang gue temui di Ruang Musik. Untungnya, yang ada cuma lo. Bukan guru."
Aku tersenyum menahan tawa. Lucu juga, dia.
"Hm? Lo mau gitu cerita ke gue?"
"Why not? Percintaan gue gak serumit, gak semenye-menye di drama."
"Oke. Go on." Aku menepuk pundaknya sok akrab. Iya, memangnya kita akrab? Hanya sebatas kenal, sebatas teman sekelas.
Dia terlihat gugup, tapi langsung bisa menguasai kegugupannya.
"Well, jadi selama ini gue lagi menunggu seseorang, dan dia gak pernah ngeliat gue. Gak pernah nyadar kalo gue disini udah menunggu selama 6 tahun." Dia menatap lurus ke depan, seperti menerawang kembali kejadian di masa lalu.
"Selama itu?"
"Gak normal, ya?"
"Gak sih, bagus malah, ternyata lo orang yang setia, ya?"
Dia tersenyum lebar.
"Terus sekarang orang itu? Lo udah ketemu sama dia?"
Dia tersenyum semakin lebar, tapi senyum itu lalu menyusut.
"Satu sekolah. Bahkan se-angkatan."
Aku terkesiap. Entah kenapa.
"Lo yakin dia itu seseorang yang lo tunggu?"
"Entahlah." Dia tersenyum masam.
"Hm.."
"Perasaan gue orangnya itu dia."
"Lagian pake perasaan. Pake insting, dong."
Gibran tertawa. "Udah ah, entar malah kebablasan cerita yang lain-lain."
Gibran beranjak dari duduknya lalu meraih tasnya yang tergeletak di lantai.
"Kok lo belum pulang?" Tanyanya seraya menyampirkan tas kebahunya.
"Males."
"Kenapa?"
"Ya, males aja."
"Hujan," ucapnya tiba-tiba.
"Hm, iya. Gue pulang dulu, ya."
"Hujan, Kay. Pulang naik apa? Sama gue aja deh kalo hujan gini."
"Ah modus lu." Aku memasukkan ponselku ke dalam tas setelah mengirim pesan ke Kak Ray.
"Pede banget, neng?"
"Enggak."
Pesan masuk, dari Kak Ray. Tanpa aku buka, aku tahu pasti isinya dia sudah di gerbang sekolah
Dia terdiam. Aku menepuk bahunya, "gue duluan, ya."
"Di jemput sama siapa?"
"Abang gue."
"Siapa nama abang lo?"
Lah kok kepo sih.
"Mau modusin ya?" Tanyaku asal. Lagian, pertanyaan yang aneh. Gibran tertawa lepas.
"Kak Ray."
Seketika hening.
"Oh yaudah, hati-hati ya, makasih udah mendengarkan gue. Even if it's just a dare."
Aku tersenyum, "gapapa kok, I know that feeling."
Aku juga merasakannya. Saat ini, Gibran.
--------------------------------
"After all broken stones
That were thrown for no good reason
Inside, she's loving him still,
After all this time.."
Lagi enak-enaknya nyanyi, tiba-tiba benda berwarna putih dan berbentuk persegi panjang itu bergetar, tanda ada LINE masuk.
Gibran: Udah sampe rumah kan? Btw, buku tulis Geografi lo ketinggalan, sekarang ada di gue HAHAHAHAHAHA
Dari Gibran.
Aku tahu maksud tawa itu apa.
Mati.
Buku tulis Geografi.
Aku belum ngerjain PR nya.
Dan, besok dikumpulin.
Kayla N Zidan: Gibran, tadinya gue mau ngutuk lo tapi berhubung gue mau minta tolong, gajadi.
Kayla N Zidan: so, pLEASE HELP ME. Do my Geography homework. Correctly. Directly. Clearly.
Kayla N Zidan: i'm trying to not turn on the caps lock mode. Tq.
Gibran: gue dapet apa?
Kayla N Zidan: ok, sir. Gue jajanin lo sepuasnya seharian.
Kayla N Zidan: btw, i hope your handwriting is as good as mine. As pretty as me.
Sedang diseberang sana, tersenyum kecil. Melupakan fakta bahwa dia harus melakukan tugas dua kali lipat, entah kenapa dia merasa senang.
--------------------------------
MAAFKAN KALO ENGLISHNYA ANCUR.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Journal
Teen FictionKamu bagai pelangi, yang selalu memukau, walau hanya sesaat. Keindahanmu nyata. Tapi kedatanganmu hanya sementara. Hingga aku menganggapmu fana. Pada akhirnya, aku tak tahu bagian mana darimu yang harus aku percayai. Nyata atau fana? © Copyright 20...