21. Stepping stone (End)

669 68 34
                                    

°^^^°

Dada Jungwon memberat. Udara dingin mendadak membuatnya sesak. Tiga tahun yang dia habiskan tanpa tahu yang sebenarnya terjadi itu bukan waktu singkat. Malam-malam yang dia lalui bersama trauma pasca kecelakaan sekarang tidak lagi semenakutkan itu.

Puncak mercusuar semakin jelas dapat dia lihat. Jalan panjang menuju penghujung jembatan terlihat sunyi senyap. Jungwon perlahan mulai diandai rasa gelisah. Bukan tanpa alasan, sebab dia hanya bisa melihat mercusuar yang sepi. Pagar besi yang ditertutup salju tanpa ada jejak seseorang disini.

Sepersekian detik Jungwon mencerna kesunyian ini. Lantas kemudian tersadar bahwa, memang harusnya mereka tidak pernah bertemu diawal cerita.

Membiarkan tubuhnya merosot sambil bersandar pada dinding putih mercusuar yang dingin. Memeluk lutut menghalau dingin sambil pandangi sang lautan yang masih mempertahankan bentuk cairnya.

Jungwon tahu harusnya tidak ada lagi air mata yang dia tumpahkan setelah perjuangan nya sampai ke titik ini. Biar begitu Jungwon tetap menangis sesenggukan. Mau malu tapi pun tidak ada orang lain disini.

Entah, dia juga tidak bisa membedakan perasaan kecewanya kah atau lelah yang menumpuk jadi satu. Untuk sejenak Jungwon bertelungkup diatas kedua lutut. Menangis macam gadis yang cinta tertolak.

Ditengah tangisnya kepala Jungwon terasa ditimpuk benda lunak. Suara ribut kresek diterpa angin menusuk telinga. Lekas dia mendongak menatap objek diatas kepala dari balik kaca-kaca air mata.

"Aku makan gimmbap sampe mau muntah, katanya ini bisa hilangkan patah hati".

Kalimat kurang indah yang Jungwon tidak harapkan keluar dari bibir pemuda itu. Jungwon enggan berdiri, dia kesal tidak dapatkan kata-kata indah berbentuk cinta.

Kemudian pemuda menjulang ini ikut berjongkok. Sekantung gimmbap dia letakan disamping kaki nya. Suara sesenggukan Jungwon membuatnya menarik ujung bibir, timbulkan kekehan kecil.

Punggung tangan nya menyentuh pipi Jungwon, menyeka aliran sungai kecil diatas pipi. "berhenti menangis, aku cuma pergi sebentar buat beli gimmbap".

Jungwon lekas berdiri, tidak peduli pemuda itu akan terjengkang kebelakang atau tidak. Wajahnya merah padam, sambil lihati pemuda itu yang masih menatapnya dari bawah sana. Sesaat setelah dia ikuti Jungwon berdiri tamparan kecil mendarat dipipi. Kebas akibat cuaca dingin bulan Desember.

"Kamu yang harusnya berhenti bikin aku jadi kaya orang gila"

Dia mengulum bibir, menarik tangan Jungwon untuk digenggam. "Maaf..." tukasnya pelan. Tentu saja dengan berbalut rasa bersalah. Tapi Jungwon dapat kelipan rasa hati dari sorot mata Riki.

"Sudah ku baca semua suratnya, jangan buang-buang kertas lagi. Aku juga cinta Riki", Jungwon kembali menangis kecil, membawa tubuh nya maju lebih dekat lalu kemudian memeluk pemuda jangkung yang wajahnya terlihat lebih dewasa kini.

Riki balas pelukan Jungwon hanya untuk sejenak. Pandangi wajah si manis dan yakini hati kalau Jungwon yang ini benar bukan sekedar ilusi. Sebelum tengkuknya ditarik, membawa Jungwon kedalam ciuman panjang yang terasa manis. Bibir keduanya yang membeku perlahan terasa kembali hangat.

Riki yang memang dasarnya jangkung memaksa Jungwon untuk berjinjit. Kaki nya dibuat turun kembali berpijak pada permukaan batu kasar. Pandangi wajah Riki setelah ciuman hangat dia lepaskan untuk sepersekian menit.

Helaian rambut Jungwon yang menjuntai disamping pipi membuat Riki gatal untuk menyelipkannya diantara daun telinga.

Lampu temaram diatas kepala terasa seperti mendrama. Wajah Jungwon macam dihiasi indahnya taburan bintang musim panas. Pun sudut bibir Riki tergerak naik. Menyadari bahwa dia sekali lagi jatuh hati pada Yang Jungwon.

Keduanya tenggelam dalam hening. Sama-sama menyelami rasa campur-campur. Cinta, rindu, lega dan sedikit rasa sesak yang tidak menyakiti. Sesak menggelitik yang membuat Jungwon menahan nafas ketika Riki terkekeh kecil lalu kemudian menarik tengkuk nya. Menyesap kembali bilah bibir merekah Jungwon.

Bukan ciuman lembut macam tadi, tergesa-gesa dan terasa amat butuh. Tangan besar yang merengkuh Jungwon menariknya lebih dekat. Ibu jari Riki dipipi Jungwon spontan menekan pipi gembul nya lebih dalam.

Suara kecapan mengundang merah di telinga Jungwon. Riki lues meng-absen deretan geligi, menjilati bendak lunak tak bertulang.

Sampai Riki mendadak mundur setelah merasakan rasa besi dari bibir Jungwon. Mata nya terbelalak mendapati darah merembes dari hidung Jungwon.

"Hidung mu berdarah Jung!!", ucapnya nyaris seperti sebuah pekikan.

Jungwon lekas menyeka darah mengalir menggunakan lengan. Memang kepalanya sedikit pusing tapi dia tak mengira bisa sampai mimisan.

Sepasang mata nya menangkap kepanikan Riki menarik sehelai sapu tangan dari dalam saku mantel nya. Menarik tengkuk Jungwon lagi tapi kali ini bukan untuk berciuman. "Tundukin kepalamu, jangan dongak keatas begitu"

"Rik aku gapapa... "

Namun memang tabiat Riki itu keras kepala. Tidak sama sekali dia dengarkan ucapan Jungwon yang bilang kalau dia baik-baik saja. Tangan besar itu sibuk memapah sapu tangan sambil sesekali menyeka sisanya di hidung Jungwon.

Tangan Riki yang sibuk lantas Jungwon genggam, "aku cuma ga minum obat waktu pergi ke sini, aku gapapa Riki"

Nafas Riki yang memburu dan wajah paniknya sedikit banyak membuat Jungwon lega. Tidak ada yang berubah sejak dulu sampai sekarang, Jungwon suka di khawatirkan oleh Riki.

"Kita ke rumah sakit"

"Hm??, oh aku mau pulang", Jungwon menggeleng kepalanya lekas. Memeluk Riki begitu erat. Jungwon sandarkan kepala nya pada bahu Riki. Menghidu bau maskulin dari ceruk leher si tampan.

"Riki rumah sakit itu seram, bawa aku pulang aja", lirih nya kemudian.

"Iya, kita pulang"

Pelukan jungwon dia balas tak kalah erat. Tubuh mungil Jungwon dibawa berjalan kecil, selangkah demi selangkah dan mundur perlahan-lahan. Lalu kemudian Jungwon diangkat seperti bayi koala.

Natal tahun ini berbuah manis, setelah penantian panjang Riki dan perjuangan Jungwon hari demi hari agar bisa kembali mengingat si pemilik hati.

Baik Riki dan Jungwon sangat amat paham bahwa kedepannya tidaklah semudah yang orang-orang pikiran. Jungwon tahu, mungkin setelah ini Ayah dan Ibunya akan mencaci maki Riki sebab apa yang telah terjadi padanya sekarang.

Namun Jungwon yakin selama Riki masih menggenggam tangan nya erat-erat dia tidak akan terjatuh.

Pun dengan Riki yang jelas tidak akan pernah melepaskan tangannya dari Jungwon. Memastikan dia tidak jatuh setelah melompati satu dua ban atau baru warna warni yang tertanam dalam tanah.

Sama seperti dahulu...

°°end°°

Akhirnya ending juga, jujur aku mau nangis. Terharu banget ini itu book pertama aku yang bisa nyampe ending😭. Btw makasih banyak buat para readers yang masih setia nunggu aku padahal update suka lama banget. Tapi jujur itu karena aku emang lagi gk punya waktu aja buat lanjutin nulis😭😭, tapi masih mau banyakin book nikwon gimana:') dong.

Pokoknya sekali lagi makasih banyak banget buat yang sudah berkenan membaca dan menunggu sage green. I love you all😘😘💕🥺. Makasih juga yang udah follow akun ini padahal book baru satu :').

See you guys di book nikwon lain nya, love you.

SAGE GREEN! (Nikwon) (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang