Sudah dua jam lamanya Bara berdiri seorang diri di sebuah kafe yang dia katakan pada Sabda tadi malam. Tapi Sabda masih belum memperlihatkan batang hidungnya. Bara melirik jam tangannya lagi, rahangnya mengeras. Sepertinya Bara terlalu naif hingga percaya Sabda mau bertemu dengannya di sana.
Setelah membayar tagihan, Bara yang hendak pergi mengurungkan niat saat dering ponselnya berbunyi. Nomer yang tidak dikenali menelepon.
"Halo?"
[Masih nunggu gue?]
Sorot mata Bara berubah kelam begitu mendengar suara seorang lelaki. "Sabda..."
Kekeh menyebalkan terdengar di ujung sana. [Iya, ini gue. Sori baru telepon, soalnya buat bisa mendapatkan nomer kontak lo ini nggak mudah ternyata.]
"Kenapa lo harus repot-repot telepon gue kalau gue lagi di sini nungguin lo?" mata Bara mengitari sekitar, mencari gelagat dari sosok yang mencurigakan. Tapi dia tidak menemukannya.
[Lo berharap apa? Gue datang ke sana?] tawa menjijikkan Sabda lagi-lagi terdengar.
Bara berdiri dari kursinya, melangkah keluar dari Kafe dan lagi-lagi mengamati sekitar dengan sorot mata yang tajam. "Dan lo berharap apa setelah nggak datang menemui gue?" Bara mendesis penuh ancaman. "Jangan mempersulit diri lo sendiri, Sabda."
[Siapa yang kesulitan sebenarnya? Gue, atau lo yang harus segera mengeluarkan laki-laki itu dari Penjara.]
Sabda mengetahuinya. Bara terhenyak hebat.
[Laki-laki itu sahabat lo, kan? Dia nggak bersalah. Gue... punya bukti yang bisa membebaskan sahabat lo.]
Genggaman Bara pada ponselnya menguat. "Bukti apa?"
[Malam sebelum penangkapan itu terjadi, gue nggak sengaja lihat Antonio menemui salah satu waiters yang saat ini berstatus sebagai saksi. Waiters itu menerima amplop cokelat yang cukup tebak. Mereka bertemu di belakang kelab. Dan gue... punya rekamannya.]
Sabda tertawa senangnya.
[Laki-laki itu di jebak. Antonio yang adalah pelakunya.]
"Dimana?" tanya Bara. "Di mana rekaman itu?"
[Ada di gue.]
"Di mana gue bisa ketemu lo."
[Ketemu gue? Maksudnya lo mau tangkap gue?] Sabda mendengus sombong.
"Nggak. Gue cuma butuh rekaman itu. Lo nggak akan—"
[Gue tahu lo butuh rekaman ini. Itu kenapa gue telepon lo.] Dari suaranya, Bara bisa merasakan seringai licik Sabda. [Lo tahu kan, nggak ada yang gratis di dunia ini. Apa lagi... apa yang gue punya adalah satu-satunya jalan keluar dari masalah sahabat lo.]
"Apa yang lo mau?" geram Bara.
[Besok, jam sebelas malam, lo pergi ke satu tempat. Nanti gue kirim alamatnya. Tapi... jangan datang dengan tangan kosong.]
Bara mengernyit curiga.
[Satu Milyar. Cash. Itu harga yang harus lo bayar untuk mendapatkan rekaman ini.] Sabda mendesah malas. [Gue rasa satu Milyar bukan harga yang mahal untuk seseorang kaya lo, Barata Malik Hamizan.]
KAMU SEDANG MEMBACA
Unstoppable 2
RomanceBara tidak pernah menduga pernikahannya bersama Gema akan berjalan lancar. Bahkan Bara sangat menikmati. Gema memang masih sangat menyebalkan, namun Bara justru semakin kecanduan. Tahun pertama pernikahan benar-benar sangat menyenangkan. Hingga kem...
