Ponsel Gema kembali menyala, nama Nadi lagi-lagi muncul di layarnya, tapi Gema mengabaikan. Dia sedang tidak mau diganggu siapa pun saat ini, baik itu Bara mau pun Nadi. Maka yang Gema lakukan di teras rumahnya, hanya duduk termenung, memikirkan kehamilan dan pernikahannya.
Di satu sisi, Gema sudah tidak sanggup menjalani pernikahannya yang telah hancur berantakan. Tapi di sisi lain, Gema juga harus memikirkan kandungannya. Bagaimana pun, sudah ada janin yang berada di rahimnya. Meski Gema tidak merasa bahagia telah memilikinya, namun Gema juga harus memikirkannya.
Memikirkan bayinya, tangan Gema bergerak begitu saja, menyentuh lembut perutnya. Dulu Gema pernah membayangkan, bagaimana ketika dia mengandung anak Bara. Waktu itu, Gema tersenyum malu, angan penuh bahagia tergambar jelas di benaknya.
Namun kenyataannya, setitik bahagia pun tidak Gema temukan ketika akhirnya dia benar-benar mengandung.
Gema tidak siap... dia tidak tahu apa yang harus dia perbuat untuk bayi ini. "Apa gue gugurin aja, ya..." gumam Gema lirih sedang matanya menatap kosong ke depan. Bahkan orang-orang yang berlalu larang di depan rumahnya pun, seolah tak kasat mata bagi Gema.
"Kalau lagi bengong, enaknya sambil makan ubi goreng, Gem."
Ketika menoleh ke samping, Gema sudah menemukan Pratiwi duduk di sampingnya sambil meletakkan satu piring kecil ubi goreng dan segelas teh hangat.
"Ubi goreng dari mana, Bu?"
"Nyolong," ketus Pratiwi hingga Gema memberenggut malas. "makanya kamu jangan kebanyakan bengong, sampai Ibu lagi goreng ubi pun kamu nggak sadar."
"Ibu kan masih sakit, ngapain sih goreng ubi."
"Ini Ubi dikasih tetangga beberapa hari lalu, sayang kalau nggak dimasak, keburu kisut."
"Kaya kulit Ibu, ya?" ledek Gema, namun tangannya sudah mencomot satu buah ubi. Sembari menikmati ubi goreng, Gema sesekali mengamati wajah Ibunya. Ibunya sudah terlihat lebih sehat dari kemarin, meski wajahnya masih sedikit pucat namun dia tidak tampak terlalu lemas.
"Udah tiga hari kamu di sini," gumam Pratiwi. "Bara nggak marah?" Pratiwi menyadari kunyahan putrinya yang berubah pelan. "Kalian berantem, ya?"
"Nggak."
"Tapi dari kemarin, Ibu nggak lihat Bara. Kamu juga nggak ada telepon Bara di depan Ibu."
Gema merasa dilema. Ini adalah momen yang tepat baginya untuk memberitahu perihal perceraian itu. Selagi Ibunya bertanya, mengapa tidak Gema katakan saja yang sesungguhnya.
Tapi entah mengapa, keberanian Gema kemarin justru sirna entah ke mana saat dia menatap lekat wajah tua Ibunya. Bagaimana kalau... Ibunya juga akan terluka. Bahkan lebih terluka dibanding Gema saat dia tahu apa yang Gema alami selama ini.
Ibunya sudah tua, Gema berharap hanya senyuman yang dia lihat di wajah renta Ibunya, sampai batas usia Ibunya nanti. Apa tidak keterlaluan jika Gema memberi beban pikiran pada Ibunya yang sudah tua seperti ini?
"Gema." Tegur Pratiwi.
Gema menarik napas dan mengulas senyuman kecil. "Nggak berantem, Bu... kenapa sih, suka banget mikir aku sama Bara berantem."
"Soalnya, kalau kamu di sini kelewat lama, Bara kan suka teror kamu. Telepon berkali-kali, atau tiba-tiba muncul. Alasannya mau ikut tidur di sini jagain Ibu. Tapi aslinya minta kamu pulang karena nggak kuat ditinggal sendirian di rumah." Pratiwi terkekeh geli sambil menggelengkan kepala. Teringat kebiasaan kekanakan menantunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unstoppable 2
RomanceBara tidak pernah menduga pernikahannya bersama Gema akan berjalan lancar. Bahkan Bara sangat menikmati. Gema memang masih sangat menyebalkan, namun Bara justru semakin kecanduan. Tahun pertama pernikahan benar-benar sangat menyenangkan. Hingga kem...