Tuan Kedua yang "Sama Saja"

2 2 0
                                    

Terlanjur sudah pelatuk itu dihempaskan
Oleh sebuah tangan yang kokohnya mampu meluluhlantakkan kalbu sahaya seperti saya
Digencat sedemikian rupa, oleh tajamnya netra kelam yang tuan punya
Sahaya mampu apa?

Kesannya hanya eka, hanya tunggal
Sesederhana itu, saya tiba pada ruas utama jalan untuk mencintai tuan yang rupawan
Tampak gulita, tampak terjal, berupa setapak penuh alang-rintang sepanjang sahaya memandang
Namun, pelatuk itu sudah terhempas, imbasnya sudah tercetak jelas, hati sahaya membekas

Meski beribu kabut dalam pikir meragu
Sahaya mencoba terus melaju
Dengan pijak pelan yang terus menelan; pada kesengsaraan hati tak terperi, pada putus asanya diri yang tak pernah menuai asa, pada muaknya jiwa karna tuan tak tampak di mana netra saya mereka—saya kecewa

Mengapa harus saya yang merasai ini?
Mengapa bukan mojang leliya yang lebih jelita dan mungkin menarik atensi tuan?
Mengapa harus saya—yang sudah pernah dan sering membersamai luka dalam benua asmara?

Tuan kini terus melanglang buana
Menerpas segala apa yang menurut tuan menghambat cita
Merunut masa depan dengan penuh suaka?
Mungkin juga apabila tuan sesuci tertua Pandhawa, tuan hanya menapaki moksa—acapkata tuan alpa dari cacat dan kefasikan insan biasa seperti saya

Sesederhana saya mencintai tuan
Lelah mengampu, saya menunggu
Meski segalanya tak dijanjikan apapun waktu
Saya akan mengikhlaskan jiwa beserta seluruh Atma diri untuk tuan yang kedua
Tuan yang meleburkan luka semula
Namun mencarutmarutkan lebih dari trauma

Dari: A
Untuk: A

yuu_yrlnaaa7

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 4 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mari Mengenang Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang