¤¤¤
Dugaan Gio tak melenceng sedikit pun, Erlan benar-benar menginap disini hingga kedua orang tuanya kembali dari luar kota. Erlan itu umurnya di bawah Brian di atas Gio, mereka bisa dibilang hanya terpaut satu-satu tahun. Kecuali Brian dan Gio yang terpaut dua tahun.
Mereka juga tinggal bertiga, plus Bibi. Sedangkan Septian pergi lagi, entah keluar kota atau kemana Gio tak tau. Gio rasa ayahnya itu memang tak betah di rumah lama-lama.
Makan malam pun dimulai, Gio duduk di tempatnya biasa, lalu ada Erlan di samping Brian. Di luar sedang hujan, cukup deras membuat riuh dari atap rumah terdengar jelas.
Gio cepat-cepat menyelesaikan makannya, agar ia pun cepat-cepat kembali ke kamar. Bosan juga kalau lama-lama dengar Erlan ngoceh tanpa henti.
Lagian Gio sedang ada PR, jadi harus cepat di kerjakan. Karena Gio butuh banyak waktu untuk berpikir menyelesaikan tugasnya.
Dengan mulut yang masih menggembung Gio mendorong kursinya, sebenarnya Gio belum boleh ikut makan malam. Tapi Brian mengajaknya tadi dan berjanji tak mengadu pada sang ayah. Karena Gio baru bisa makan seperti biasa itu besok. Tapi karena Brian janji gak ngadu yaudah Gio makan aja, laper juga dia mah.
•••
Gio duduk di kursi meja belajarnya, mencoba memahami soal-soal matematika yang membuat otaknya memanas. Tak sekali dua kali Gio menggaruk dahi atau kepalanya saat tak paham sama sekali.
"Ini dua puluh dua dari mana sih?" Tanya Gio entah pada siapa, contoh yang sudah di jelas kan guru saja ia tak paham padahal ada jalan mengerjakannya disana, terus bagaimana mau paham dengan soal yang bahkan gak ada jawabannya.
DUARRR....
Suara petir yang menggelegar tanpa aba-aba itu membuat Gio terkejut, anak itu sampai terlonjak dari duduknya. Memegang dadanya yang berdetak keras, degupnya bahkan bisa Gio dengar di telinga.
"Sshhhh...akh..." Gio meringis tertahan saat dadanya terasa nyeri, membuatnya sedikit sesak.
"Uhukkk..." Gio terbatuk pelan, saat merasa nafasnya sedikit tersendat.
Anak itu menarik nafas pelan dan menghembuskannya perlahan, terus melakukan hal itu berulang kali. Hingga membuat nafas Gio membaik, meski detak jantungnya masih terasa tak nyaman. Dadanya juga nyeri sedikit, namun masih bisa di tahan.
Gio termenung sejenak sambil mengurut dadanya, menatap soal-soal yang masih belum ia temukan jawabannya.
Tiba-tiba ucapan dokter tempo lalu, kembali tergiang di kepalanya, padahal ia sudah sempat lupa.
KAMU SEDANG MEMBACA
SASTRANAGARA [END]✔
FanfictionHanya kisah dari Brian Ghastan Sastranagara dan adiknya Giovanno Sastranagara. Dua saudara yang sering bertengkar padahal nyatanya saling menyanyangi. Brian dengan Ego-nya yang selalu menolak jika ia merasa peduli dengan sang adik. Sedangkan Gio s...