Here at Last

1.3K 106 76
                                    

5 Desember 2022

Jawar masih senantiasa menatap putra tengahnya yang terlelap. Tangannya tidak pernah lelah mengelap pelipis anaknya yang basah karena keringat dan sesekali berpindah mengurut lengan sang anak yang pastinya terasa pegal setiap hari dipasang infus dengan sayang.

Di kamar itu, Jawar sendiri yang menemani Algu, sementara, sang istri, Kila sedang pulang ke apartemen dekat rumah sakit untuk beristirahat. Jawar menghela nafas lega, Setelah berhasil ditenangkan, Kila akhirnya menurut untuk tidak menemui Algu sementara waktu. Bukan hanya untuk kebaikan Kila sendiri, tapi juga untuk Algu. Anak tengahnya mereka juga perlu menjaga jarak sementara waktu dengan sang bunda akibat kejadian beberapa jam lalu yang membuatnya drop.

Jawar menumpukan dagu pada pembatas ranjang Algu, pria itu mulai mengantuk setelah 6 jam berjaga. Ia paksakan matanya tetap terbuka karena takut-takut Algu terbangun dan membuat ulah kembali. Terlebih anaknya itu belum makan sejak pagi tadi, jadi ia harus memastikan anaknya mendapatkan cukup nutrisi untuk mengisi energi tubuh kurusnya saat bangun nanti.

Saat kelopak mata Jawar mulai tertutup sempurna tangan Algu yang berada dalam gengamannya tiba-tiba bergerak kecil, dan membuatnya sedikit tersentak.

"Kakak?"

Kerutan samar-samar terbentuk dari dahi Algu mendorong Jawar untuk mengusap pelan dengan sayang agar anakknya terbangun dengan nyaman. Dan setelah mata itu terbuka, dua pasang iris mereka bertemu, hanya dua detik karena setelahnya Algu memilih menatap langit-langit kamar seakan menyiratkan rasa enggan bertemu sang ayah.

Bukti penolakan itu bahkan merabat ketika Algu menghindari usapan kening dengan menggeser sedikit kepalanya juga menarik pelan dekapan dari genggaman ayahnya.

Jawar tersenyum. Pria itu membatin, untung saja istrinya tidak ada disini karena apabila ia melihat Algu seperti ini mungkin ia akan kembali lepas kendali.

Bukan karena apa, bukan juga karena kejadian tadi itu yang membuat istrinya seperti itu. Hanya saja, Kila memang memiliki tingkat kesabaran yang setipis tissue jika anak-anaknya membandel.

"Kenapa kakak ikut marah sama ayah? Ayah kan tadi gak ikutan ngebentak kakak." Ujar Jawar lembut. Ia ingin meraih lagi tangan kanan anaknya yang tertusuk infus, sementara tangan kirinya kembali di ikat di pinggir ranjang guna mengindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi lagi hanya bisa ditatap dengan hati miris.

Algu masih menarik tangannya seraya menutup mata.

Jawar menghela nafas. Ia harus sabar. Harus sabar. Anakknya sakit, dia harus sabar. Dia harus memaklumi Algu.

Jawar mengerti jika anaknya ini masih dalam penguasaan emosi dengan bunda nya.

"Kak, maafin bunda ya? ayah tau, bunda gituin kakak gak hanya sekali, tapi sering. Maaf ya kak, bunda kayak gitu karena bunda takut banget kehilangan kakak. Bunda gak mau kakak cape berjuang, hilang semangat kayak gini."

Jawar masih berusaha mengambil tangan itu lagi, ia tidak menyerah. Algu benar-benar membutuhkan afeksi lebih banyak dari apapun. Dan syukur usahanya kali ini tidak ditolak. Algu membiarkan tangannya yang terasa perih digenggam sang ayah, meski mata itu masih enggan menatap.

"Ayah juga minta maaf sama ini." Jawar mengusap pelan tangan Algu yang masih memerah. Juga melirik tangan kiri anaknya yang masih terikat. "Bukannya ayah sama bunda gak sayang, malah sebaliknya, kita gak mau kakak nyakitin diri lagi."

Dengan lembut, Jawar menatap putranya seraya mengusap bahu Algu. "Kakak jangan nyakitin diri lagi ya? Ayah juga tau kakak pasti berat nerima ini semua, tapi ayah yakin kakak pasti bisa, kakak inget gak kayak apa perjuangan kakak selama ini? jatuh bangun kakak yang gak gampang itu, kakak bisa lalui."

AnyelirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang