It's You're

828 96 58
                                    

Florida, 29 Desember 2022

Dalung sengaja membuka mulut lebar, menghembuskan nafas panjang agar uapnya tertempel di kaca jendela yang dingin. Lantas, jari telunjukknya mendadak jadi pensil untuk menggambar emoji senyum. Siapa tahu, dengan itu hatinya yang sendu jadi lebih baik.

Baru tiga hari disini, rasanya Dalung tidak sanggup, tapi tak juga ingin beranjak, kesempatan tinggal hanya 4 hari dan Dalung tidak lagi berekspetasi dengan scenario yang dia buat untuk sisa waktu berikutnya seperti yang sudah-sudah. Karena semua itu nyatanya tidak pernah benar-benar sesuai harapan.

Namun bagaimanapun juga, sisa waktunya sangat singkat. Dalung takut kesempatan langka yang didapatnya ini berujung sia-sia.

Anak itu menghela nafas lagi, kali ini disertai dengan kening menempel di bawah emoji yang dia buat. Ternyata hatinya tak membaik.

Menangis yang katanya cara ampuh juga sudah Dalung lakukan agar hatinya membaik rupanya tidak mempan lagi. Mungkin lebih tepatnya dia sudah Lelah menangis, toh hatinya tetap tidak lega, hatinya tetap sedih, hatinya tetap sakit.

Matanya memejam bersamaan dengan tangan yang meremas secarik kertas yang sempat dia tulis sebelum malam keberangkatan.

Dalung sebenarnya tahu apa yang bisa membuat hatinya membaik, ia cukup tahu--hanya cukup tahu saja tanpa bisa bertindak lebih jauh, sebab jika gegabah malah akan lebih melukai perasaannya sendiri. Takut jika kekecewaannya semakin dalam, namun sekeras apapun untuk tidak menanamkan rasa kecewa di kepala, saraf-saraf otaknya selalu saja menuntun informasi itu sebagai sebuah memori yang harus disimpan.

Anak itu menggeleng ribut dengan mata yang memfokuskan titik di luar jendela-segunduk salju yang mobil.

"Kakak,'kan masih sakit, bukan karena benci sama kamu." Cicitnya, berusaha merasionalkan pikirannya sendiri.

Uhukk...uhukk.

Dalung hanya memutar tubuh, sedikit terkejut dengan bunyi menyakitkan itu ditengah sunyinya malam yang dingin ini. Bukannya menghampiri namun justru menempelkan punggung ke kaca jendela. Anak itu justru diam mengamati sang Kakak yang terbatuk dalam tidurnya.

Terlihat tidak nyaman, ada guratan kecil di dahi dan ekor mata Kakaknya, dibalik selimut tebal yang menutupi, dadanya membusung cukup tinggi karena terlihat sulit menarik nafas. Tapi Dalung masih di tempatnya-mengamati.

Uhukk... uhukk...

Dari sofa, Dalung melihat sebuah pergerakan tiba-tiba. Ayahnya mendekat meski sempat terhuyung, begitu mendengar suara batuk Algu yang makin terdengar... menyakitkan?

"Kak? Dadanya sesak lagi?"

Terdengar panik sembari mengusap dada yang makin membusung, Ayahnya terus membangunkan Algu yang masih menggeliat tak nyaman. Selimut nyaris terjatuh akibat pergerakan kaki Algu yang brutal, namun syukurnya, Dalung lebih memilih mewaraskan diri untuk mendekat dari pada menuruti pikiran jahatnya untuk diam menyaksikan kesakitan itu lebih lama.

Anak itu menahan selimut agar tak sampai lantai, kemudian menahan kaki kurus itu sembari tersenyum tipis pada Ayahnya.

Jawar sejenak terkejut. Ia menoleh ke sofa sekian detik lalu menatap putera ketiganya yang tiba-tiba ada disebrangnya. Belum sempat bertanya, fokus Jawar teralihkan karena tangannya digenggam kuat oleh Algu.

"Iya Kak? mau Ayah panggil Dokter?" tanyanya saat menemukan mata Algu yang terbuka lemah itu.

Disela batuk yang menganggu jalur nafasnya, Algu menggeleng. Sebenarnya dia bangun bukan membutuhkan dokter. Di temaram ruang rawatnya, mata Algu mengedar lemah lalu sesuatu berat terasa di kakinya, mata yang terasa panas itu pada akhirnya bergulir ke bawah, menemukan sosok yang memegang kakinya.

AnyelirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang