My Ficus Carica

909 83 49
                                    

"Oh come on...Give me back!!!"

Algu tetap tak melepas kucing dalam dekapannya meski tangan kecil adiknya menarik tangannya sampai merah.

"Algu please..."

Suara Ara sudah menjukkan tanda-tanda bergetar, dengan mata berkaca-kaca itu, sebentar lagi isakan menggelegarnya akan terdengar sampai telinga Bunda.

"Algu please, hiks. Please Algu Please... Don't take my cat."

Algu menggeleng keras, mencoba menjauhkan si kucing dari jangkauan si adik yang mulai memanjat tubuhnya. Anak itu lantas naik ke atas kursi, mengabaikan Adiknya yang mulai terisak. Dot yang baru diisi susu oleh Bunda beberapa menit lalu seakan tak lagi menarik diminum karena Lulu—si kucing putih yang kakaknya temukan tiba-tiba diambil saat dia tidur.

"ALGU JELEK!!!!" Ara berteriak, lalu menggigit betis sang Kakak hingga membuat kucing itu turun tiba-tiba lantaran tangan Algu refleks melepaskan gigi adiknya.

Algu meringis. Gigitan adiknya memang tak main-main. Sementara Ara yang tak merasa bersalah langsung meringkuk ke bawah meja untuk mengambil si kucing yang bersembunyi karena ketakutan.

"Kenapa ribut-ribut? ARA???!" Dari luar terdengar suara Bunda Kila berteriak dengan suara langkah kaki menaiki tangga.

"Ada apa ini berisik?" Ucapnya lagi saat pintu kamar dibuka.

Kila membatu sejenak dengan kepala mendongak ke atas. Tiba-tiba sang putera ada di kamar adiknya, tengah berdiri dengan satu kaki dilipat dan dielus-elus.

Sementara puteri bungsunya sedang merangkak sembari memanggil Lulu berulang kali.

"Auhch, Euhgg...Bundaaaaaaa—--" Setelah berhasil mengambil, Ara sontak melempar lagi kucing tersebut sembari meringis. Mungkin karena masih takut, si kucing tak sengaja mencakar tangan bocah tengil itu.

Kila menekan tengkuk hidungnya. Belum genap dua hari berlalu sejak mereka tiba dari rumah sakit. Bisa-bisanya sudah disuguhkan keributan seperti ini. Kila kira perebutan kucing sudah berakhir damai karena kemarin baik Algu maupun Ara sama-sama mau mengalah dan membiarkan si kucing tidur di sofa ruang tamu. Tak disangka rupanya hari ini—tidak, Tepat tadi pagi, Ara bangun dan mengambil kucingnya untuk dibawa tidur di kamar bersama.

Dan Siapa sangka, Algu juga menginginkan hal sama dan memikirkan hal yang sama pula untuk membawa si kucing masuk ke dalam kamarnya. Setelah mengetahui si kucing lebih dulu Ara yang mengambil, jadilah Algu inisiatif mengambil secara diam-diam saat adiknya tidur.

Tak perlu dijelaskan siapa-siapa, Kila sudah bisa jelaskan sendiri kegaduhan ini dengan kepalanya sendiri.

Algu turun dari kursi, lalu mengambil lagi kucing yang kini bersembunyi di bawah kolong ranjang.

Disusul dengan Kila yang menyamakan posisi dihadapan puteri kecilnya.

"Ara, kemarin Bunda bilang apa?" Kila bertanya dengan nada yang begitu lembut. Tak tahu saja dalam hatinya tengah menahan emosi.

Ara tak menanggapi, ia sibuk mengelus luka bekas cakaran kucing dengan air mata berlinang.

"Bunda bilang, kucingnya taruh di luar. Kenapa? Sakit?"

Ara mengangguk samar, tak berani menatap mata Bundanya.

"Lagian kucingnya bukan punya Ara. Itu punya Kakak, udah Bunda bilang berapa kali, Ara gak boleh ngakui sesuatu yang bukan punya Ara. Bunda taruh di luar biar sama rata, biar gak berantem. Apa Bunda bilang bener,'kan."

Algu melihat adiknya mulai sesegukan, seperti tengah menahan mati-matian suara isakannya tidak keluar, meski telinga nya kwalahan mendengar ocehan Bunda.

AnyelirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang