ketiga puluh tiga ; yang menjauh

4.6K 521 81
                                    

Iris coklat itu berkedip-kedip

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Iris coklat itu berkedip-kedip. Pandangannya turun melihat dirinya sendiri. Sebuah gaun putih selutut dengan kain yang begitu halus membalut tubuhnya. Kakinya tak menggunakan pengalas, telanjang begitu saja menapaki rerumputan hijau yang sedikit basah. Rerumputan hijau? lantas matanya terangkat. Pandangannya mengedar. Bibir pink Gadis itu membuka ketika melihat ia berada di sebuah taman bunga yang begitu asri nan penuh warna.

Alisnya menukik, wajahnya tampak bingung ketika ia melihat sekelilingnya tapi tak menemukan siapapun. Kenapa bisa taman seindah ini tak dikunjungi oleh banyak orang? apa mereka tidak tau atau... karena penasaran, otomatis ia beranjak dari kursi taman yang ia duduki. Dengan kaki tak beralas itu, ia melangkah menyusuri jalan jalan kecil yang diapit oleh bunga bunga yang tertata begitu rapi.

Sebenarnya, ada dimana dia? kenapa taman ini begitu asing, tapi—tapi indah... itulah yang sejak tadi mengisi pikiran Shania.

Ia kebingungan. Tiba tiba ia jadi buta arah, tapi kakinya terus melangkah mengikuti insting yang ia punya. Hingga tiba tiba sepasang kaki indah itu berhenti ketika mendengar sebuah suara yang begitu familiar memanggil namanya. Kepala mungil Shania berbalik, dan saat itu pula ia merasa terkejut hingga hanya bisa membeku di tempat.

Matanya melihat sosok Wanita, berpakaian serba putih juga sama sepertinya. Ia terlihat begitu bersinar, damai, dan indah di waktu yang sama. Saat bibir pink pucat itu melempar senyum padanya, di detik kemudian tangis Shania pecah.

Isakannya semakin kuat ketika Wanita itu membawanya ke dalm pelukan hangat itu. Pelukan itu kian mengerat, mengantarkan kehangatan yang sejak dulu Shania rindukan. Hatinya yang sakit pun mulai kembali terasa. Sangat, sangat, begitu sakit sehingga pelukan Wanita itu menguat mencoba menenangkannya.

"Mama, Aku kangen sama Mama. Aku kangen, kangen banget..." lirih Shania di dalam pelukan tersebut.

"Mama juga kangen sama Shasa. Shasa baikkan?" suara lembut itu kembali memasuki indera pendengaran Shania, berhasil membuat tangis Shania makin pecah. Sementara Wanita itu hanya tersenyum tenang di balik punggung kala tangannya mengusap-usap pelan punggung rapuh sang anak yang bergetar hebat karena tangisnya.

Pelukan tersebut terurai karena Shania. Wajah mereka saling berhadapan, kontan membuat dua pasang mata cokelat yang begitu mirip saling menatap. Dan kedua bibir itu saling mengukir senyum, senyum yang mengantarkan kedamaian yang Shania butuhkan.

"Shasa" panggil Wanita itu.

"Iya, Ma?"

"Shasa bangun, ya?"

Mata penuh binar itu kembali redup, senyumnya memudar. Kepala mungil Shania menggeleng, menolak keras permintaan Irana. "Shasa harus bangun, sayang.." mohon Irana, menangkup kedua pipi Shania dan mengelus elus sudut mata sembab Gadis tersebut.

"Gak mau, Ma. Aku gak mau, aku mau ikut sama Mama. Aku gak mau disana, aku maunya dekat sama Mama" lirih Shania.

"Aku sendirian disana, Ma..." keluhnya.

Returning The FavorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang