ketiga puluh sembilan ; setelah ini apa

3.9K 415 99
                                    

"Aku ada bakso, ayo masuk" Shania segera menyingkir dari pintu. Nadhif yang sempat kaget dan bingung beberapa saat pun langsung tersenyum tipis saat sadar. Pria itu beranjak dari posisinya, menepuk-nepuk bagian belakang celananya, kemudian menyusul Shania ke dalam rumah setelah menutup pintu kontrakan gadis tersebut.

Rumah itu tak besar, tak bisa dikategorikan sedang juga. Tapi sepertinya cukup untuk menampung satu kepala keluarga, satu ibu, dan satu anak. Kamarnya dua berukuran kecil, kamar mandinya hanya satu. Ada dapur kotor, ada dapur bersih yang langsung menyatu dengan ruang makan. Lalu ruang tengah yang merangkap menjadi ruang tamu. Tidak ada yang spesial dari rumah kontrakan ini, selain si penghuni yang sekarang meminta Nadhif untuk duduk di meja makan.

"Kamu tunggu disini, aku panasin lagi baksonya" pinta Shania.

Nadhif hanya mengangguk menyanggupi permintaan Shania. Ia tidak tahu apa maksud Shania tiba-tiba mengundangnya ke dalam kontrakannya. Entah maafnya diterima, atau setelah ini Nadhif akan disirami kuah bakso panas lalu diusir karena telah menyakiti hatinya. Nadhif tidak bisa menebak, karena raut wajah Shania kali ini datar. Tidak seperti biasanya. Hanya saja, Pria itu sedang mencoba untuk merendahkan harapannya. Takut bila ternyata apa yang dia harapkan jauh dari apa yang terjadi nanti. Karena seharusnya ia tidak berhak kecewa atas apapun keputusan Shania nanti.

"Nih, baksonya" tak lama kemudian Shania muncul dengan satu panci sedang yang menuarkan aroma kaldu bakso dan uap panas yang mengepu.

"Kamu harusnya bilang ke aku, Dek"

"Gak perlu, aku bisa sendiri." ucap Shania menghindari kontak mata dengan Nadhif. Membuat Nadhif bergerak kikuk.

"Makan, Mas" Shania pun mengulurkan mangkuk ke depan Nadhif, membiarkan Nadhif mengambil sesuai porsinya. Nadhif lagi lagi hanya bisa mengangguk patuh, nyatanya takut bila ia bergerak berlebihan, ngomong terlalu banyak, atau menolak malah membuat Shania tiba-tiba mengamuk dan melakukan hal-hal yang tidak pernah Nadhif bayangkan.

"Makasih Sha"

Shania hanya berdehem.

Sementara Shania, walau dari luar seperti kelihatan kesal dan mengeluarkan aura menyeramkan. Gadis itu sebenarnya sedang berusaha menormalkan degup jantungnya yang begitu cepat. Otak dan hatinya merutuk, bisa-bisanya Shania kabur jauh dari Nadhif untuk melupakan Pria itu tapi saat berhadapan langsung, jantungnya kembali berdetak lebih cepat dibanding biasanya. Dasar jantung tidak tahu malu!

Selama menikmati bakso tersebut, Nadhif berusaha sebisanya membangun topik. Menanyakan kabar Shania, dan bebasa-basi. Sampai Shania mendelik kesal, "Mas lagi makan, bisa diam gak? Mulut tuh dipakai ngunyah bukan ngomong" teguran Shania pun berhasil mengatupkan bibir Nadhif sampai agenda makan malam mendadak mereka selesai.

"Biar aku yang cuci piring ya" Nadhif sudah siap menggulung lengan kemejanta, tapi lagi-lagi Shania menahannya.

"Jangan, Mas kesini kan bukan buat jadi pembantu"

"Gak gitu, Sha"

"Gak usah, Mas. Kamu ke ruang tengah saja sana. Aku bisa kok bersih-bersih paginya"

Ingin Nadhif bersikeras, tapi sepertinya Shania sedang tidak ingin melawan. Maka Nadhif membalikkan tubuhnya pergi ke ruang tengah yang hanya berisikan satu set sofa lengkap dengan coffee table berbahan kacanya serta satu tv gantung berukuran sedang.

Nadhif hanya bisa memilin-milin jarinya. Canggung dan takut bercampur. Haruskah ia pamit pulang? Tapi ia belum mendapatkan jawaban Shania. Haruskah ia bertanya mengenai respon Shania? Tapi sejak tadi berbasa basi pun, Shania kelihatan begitu enggan. Hah, kontak mata dengannya saja Shania tidak mau. Atau haruskah ia modus mengambil kesempatan ini untuk meng—tidak, tidak, itu ide yang sangat buruk saat suasana mereka seperti ini.

Returning The FavorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang