bonus chapter IX ; si kembar dan kemistrinya

4.1K 297 50
                                    


Sebulan Shaka dan Samu lahir ke dunia, Shania dan Nadhif sudah begitu biasa mendengar tangis yang memekakkan telinga di tengah malam. Untungnya, Nadhif selalu siap sedia menggantikan Shania. Atau Ibu Maya akan terbangun bergantian menjaga si kembar apabila orang tuanya begitu kelelahan karena kerja. 

Shania kira, selama sebulan itu ia sudah bisa menebak gejala tangis si kembar di tengah malam. Ternyata, praduganya dibuktikan salah malam ini. Si kembar sudah tidur setelah selesai disusui jam 11 malam tadi. Shaka yang duluan terlelap dipindahkan Nadhif ke boks bayi yang ada di dekat ranjang mereka. Karena sudah terlalu lelah, Samu mereka biarkan tertidur ditengah-tengah mereka. 

Biasanya kalau mereka tidur agak telat begini, si kembar akan bangun secara berurutan sekitar jam 4 subuh. Kalau ditidurkan sedikit lebih cepat—sesuai jadwal yang coba Shania terapkan—pukul 9 malam, Shaka dan Samu akan bangun di jam 12 dan tidur lagi sampai subuh. Sepasang suami istri itu mulai pandai mengatur jadwal tidur kedua anak mereka. 

Hingga malam ini, diluar dari perkiraan, pukul 3 pagi, tangis Samu meledak, menyapa telinga kedua orangtuanya yang tengah tenggelam di dunia mimpi. Dengan mata yang setengah terbuka, kesadaran yang masih mengambang, Shania mendudukkan dirinya. Membuka resleting daster di bagian dadanya, kemudian membawa Samu ke dalam dekapannya. Sudah sangat terbiasa, sehingga membuatnya bergerak seperti robot yang sudah disistemkan. 

“Iya, Dek . . . Ini Ibu” gumam Shania dengan tangan yang menepuk-nepuk pelan pantat berlapis diapers. 

Namun, tangis Samu tak kunjung reda. Lantas Shania membuka matanya, mencoba memperbaiki posisinya, siapa tahu Samu yang tidak nyaman. 

“Adek, adek kenapa, Sayang?” gumam Shania. 

Samu sama sekali menolak untuk disusui. Puting yang Shania tawarkan tak diterima Samu. Alih-alih menyusu pada sang Ibu, tangis Samu malah semakin kuat. Memaksa Shania mengumpulkan seluruh kesadarannya. 

“Iya, Sayang . . . Anak Ibu kenapa ini? Gak mau susu ya?” monolog Shania. Ia letakkan terlebih dahulu Samu ke tengah ranjang agar ia bisa memperbaiki dasternya. 

Kemudian berinisiatif mengusap-usap punggung Samu  dan menepuk sayang paha Samu—satu dari berbagai cara untuk menenangkan Samu. Namun, sepertinya bukan itu yang Samu inginkan. Si Bungsu itu masih terus menangis, memekik entah karena apa. 

“Kenapa dia, Sayang?” suara berat Nadhif menyela tangis si Bungsu. 

“Gak tahu, Mas. Aku kasih susu gak mau, aku tepuk-tepuk kayak biasa, gak berhasil juga” keluh Shania. 

“Udah cek popoknya belum?” 

“Belum, Mas” 

“Mungkin udah gak nyaman Samunya, Yang. Kamu lanjut tidur aja ya, biar aku yang teangin Dek Samunya” Nadhif menyingkap selimut lalu meminum segelas air yang ada di nakas yang selalu ia sediakan untuk membantu menyadarkan dirinya disaat-saat seperti ini. Kemudian berbalik membawa Samu ke dekapannya. 

Shania sungguh beruntung memiliki Nadhif. Pria itu sadar akan tugas-tugasnya, tak lagi seegois beberapa tahun silam. Selalu berusaha untuk membantu Shania mengurus si kembar dan memastikan bahwa Shania mendapatkan istirahat yang cukup,  hiburan yang cukup, serta beberapa kali memberikan Shania izin untuk pergi jalan-jalan membiarkan Shaka dan Samu dia yang urus. 

“Dek Samu . . . Dek Samu . . .” Nadhif menggendong Samu sambil mondar mandir di sudut kamar. Mengayun-ayunkan pelan gendongannya, berharap dengan itu tangis si Bungsu bisa mereda dan matanya kembali terpejam. 

“Dek Samu, Dek Sam kenapa sayang? Poop ya? Maaf ya, Dek Sam, Ayah intip yaa . . .” izin Nadhif menurunkan celana pendek si Bungsu lalu menurunkan sedikit diapers anaknya. 

Returning The FavorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang