keempat puluh dua ; malam yang indah

4.5K 399 66
                                    

Jarum jam terus berputar sejak tadi. Shania yang menghabiskan waktunya dengan belajar dan membaca baru tersadar ketika jarum kecil disana menunjuk pada angka 1 malam. Ia merutuk pelan, harusnya sebelum masuk ke kamar tadi ia membawa setoples cemilannya. Sehingga ia tak perlu keluar lagi di jam-jam kritis seperti ini. Kenapa? perut gadis itu sekarang berseru kelaparan. Walau sudah makan di jam 8 tadi, perut pun bisa kembali merengek bila masih terjaga di tengah malam seperti ini. 

“Mas Nadhif udah tidur kan?” Shania menyingkap selimut tipisnya. Mengendap-endap kemudian berdiri menempelkan telinga di daun pintu. 

Tak mendapatkan suara Nadhif, maka dengan pelan tapi pasti gadis itu keluar dari kamarnya. Mengendap-endap layaknya maling ketika mendapati Nadhif sudah terlelap di sofa panjang. 

Dengan bibir mengerucut dan tangan yang mengusap-usap perutnya, gadis itu mengelilingi dapur. Haruskah masak indomie? atau makan yang Nadhif masak? atau keduanya saja? pikirnya dilema. 

Okei, pilihannya pun jatuh pada kalau bisa keduanya, kenapa tidak? maka gadis it dengan cepat tapi berusaha tanpa suara, segera memasak indomie kuahnya. Dasar perut karet!

Sayangnya ketentramannya terganggu dengan Nadhif yang mengerang pelan sambil mengucek matanya. “Dek?”

“MAS NADHIF NGAGETIN!” seru Shania.

“Yaampun, mas kira kamu maling” mata Nadhif langsung membulat, nyawanya seketika langsung terkumpul. 

Shania mendengus, “Dikira cuman kamu yang tinggal disini apa” gerutu Shania. Untung dia belum kedapatan makan masakan Nadhif. Kalau begini ceritanya sepertinya dia hanya akan mengonsumsi indomienya. 

“Mas kebangun karena mau ke kamar mandi” jelas Nadhif keluar dari kamar mandi dengan kondisi lebih segar serta ujung rambut yang basah. Shania memilih cuek, fokus pada indomienya yang diaduk tanpa menyentuh kuning telurnya. 

Nadhif tersenyum kecil ketika melirik pada indomie Shania, “Udah masak tuh, Dek. Jangan ngelamun” tegurnya. 

Shania mendengus, “Gak ada yang melamun” padahal nyatanya tatapannya sempat kosong dengan pikiran yang melayang kemana-mana tadi. 

“Lapar?” tanya Nadhif kini berdiri disamping Shania. 

“Menurut kamu?”

Nadhif tergelak. Sekarang mengekori Shania ke meja makan.  Lalu menyediakan segelas air juga pitcher air dingin untuk Shania. Ia tidak tahu apakah Shania akan mencicipi masakannya, tapi ia tetap membuka penutup makanan di meja. Lalu duduk di samping Shania. 

“Kok gak balik tidur?” 

“Tiba-tiba ngantuknya hilang” 

Shania langsung mendelik kesal. Ini harusnya jadi waktu yang tepat untuk menikmati makanan Nadhif dibelakang orang itu, tapi kalau begini ceritanya, gagal pula rencananya. 

Nadhif yang sadar maksud tatapan itu pun tersenyum. Tangan besarnya mengelus-elus puncak kepala Shania, “Baru tidur aku tuh, Dek. Jadi pas kebangun, belum ngantuk-ngantuk banget” 

Walau Shania tidak bertanya alasannya, Nadhif tetap menjelaskannya. “Ada kerjaan dadakan yang harus saya cek” 

Hening kembali mengelilingi mereka. Hanya ada Shania yang kini sibuk meniupi kuah indomienya dan Nadhif yang menatapnya. Mungkin dulu Shania akan senang dengan kondisi ini, malah dia akan menggoda Nadhif yang menungguinya makan. Kan dulu Pria itu dingin ke Shania. Tapi sekarang rasanya sudah beda. Ia benci berada di situasi seperti ini. Ingin rasanya Shania mengusir Nadhif bila Pria itu hanya berencana duduk disana tanpa makan atau melakukan apapun padanya. 

Returning The FavorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang