Kurasa aku benar-benar kehilangan akal semenjak membaca jurnalnya Andrew. Rasanya aku bukan Zevania Sylvianna enam hari yang lalu, yang datang ke London sebagai pelarian dari kisah cintaku yang tragis. Sebelumnya aku selalu tertutup, tidak mudah membuka diri kepada orang lain, bahkan ke orang terdekatku sekali pun. Namun, dengan Andrew, segalanya lebih mudah. Sejak sepuluh tahun yang lalu, rasanya selalu menyenangkan menceritakan tentang diriku kepadanya. Dan sekarang, setelah saling bertukar jurnal (meski tanpa sepengetahuanku) dan melakukan sesi tanya-jawab yang dibuatnya, aku benar-benar mengatakan apa yang kupikirkan. Tanpa saringan dan Andrew mendengarkan. Dia tidak pernah menghakimi apa pun yang kukatakan, dia pendengar yang baik, dan tampaknya dia memahamiku—setidaknya dia berusaha untuk paham dengan cara kerja otakku. Buktinya dia yang mengajukan permainan tanya-jawab ini.
Aku tidak segan menunjukkan ketidaktahuanku; seperti ketika dia menyebutkan satu kata asing dalam bahasa Inggris yang tidak pernah kudengar sebelumnya dan dia memberitahu tanpa membuatku merasa bodoh. Mungkin dia tidak sadar, tetap itu sangat berarti bagiku. Saling bertukar pikiran dengan Andrew membuatku nyaman, dia selalu membuatku terlibat dan didengar. Dulu Andrew dan aku sering berasumsi sendiri, yang ternyata justru menjauhkan kami berdua. Sekarang kami telah belajar dari pengalaman dan masa lalu. Dia selalu ingin tahu pendapatku, dia ingin tahu apa yang ada di dalam kepalaku.
Termasuk alasan aku mengatakan bahwa lagu London Boy dari Taylor Swift mengingatkanku padanya.
"Why London Boy by Taylor Swift? I understand it's about a girl who falls in love with a London boy and travels around London but these places? These are not romantic at all." Andrew langsung menyerangku dengan pertanyaan ini ketika aku membuka mata. Tidak sadar bahwa aku telah jatuh tertidur di bahu Andrew. (abaikan kacamataku yang sudah terlepas)
"Tunggu ... biarkan aku mengumpulkan jiwaku terlebih dahulu." Aku memijit pelan leherku yang terasa sakit. "Berapa lama aku tertidur?"
"Satu jam."
Satu jam bersandar di bahu Andrew? Aku sudah gila.
"Berapa lama lagi kita akan sampai?"
"Tiga puluh menit."
Rasanya aneh mendengar Andrew menjawab dengan singkat. Biasanya dia akan menambahkan sesuatu dalam jawabannya.
"Apakah jiwamu sudah terkumpul?"
Tuh kan. Dia masih menuntut jawaban dariku.
"Oke, buka Google Maps," kataku.
"Untuk? Aku sudah hapal di luar kepala lokasi tempat-tempat di London."
Astaga. Andrew kalau sudah begini sedikit menyebalkan tapi lucu. Dia terdengar tersinggung karena merasa aku menuduhnya tidak tahu peta London. "Oke, sekarang hubungkan menggunakan benang merah dari Camden Market ke Highgate ke West End ke Brixton ke Shoreditch ke Hackney ke Bond Street ke Hampstead Heath. Abaikan pengulangan tempat."
Andrew tampak kebingungan. "Wait ... what are you trying to prove now?" katanya yang secara tidak langsung mengakui dia gagal menggambar peta dalam kepalanya.
Aku menggeram kecil lalu mengetik London Boy map di Google dan menunjukkannya pada Andrew, menyerahkan ponselku padanya dan membiarkannya menganalisis peta itu. "Lihat? Rutenya berbentuk hati."
Kupikir Andrew akan mulai mengeluarkan gombalan mautnya, tetapi dia semakin kebingungan. "Seharusnya jangan kembali ke Soho, tapi bisa ke Peckham terlebih dahulu agar dapat berbentuk hati."
"Oh, God." Aku tidak tahu apakah ini efek dari datang bulan tapi sebentar lagi Andrew akan menyaksikan Zevania yang kesabarannya setipis tisu. "What do you expect from a map?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal: The Lessons
Romance[BOOK #3 OF THE JOURNAL SERIES] London dan Zevania adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Seolah ada benang tak kasat mata yang mengikatnya selama 10 tahun terakhir, Zevania kembali menapakkan kakinya ke kota itu. Masih London yang sama, dengan...