37 | Bakewell - London

49 12 12
                                    

Aku terus memandangi Andrew yang tengah merapikan barang-barang di bagasi mobilnya. Dia hanya membawa satu buah ransel besar berisi pakaian, katanya dia punya stok baju bersih di Manchester jadi dia tidak membawa begitu banyak baju ganti. Sedangkan aku menyumbang satu buah koper kecil beserta tas belanja dan plastik berisi oleh-oleh yang kubeli di Old Trafford dan Bakewell. Nantinya semua oleh-oleh itu akan kumuat dalam koper kecil yang kubawa, kemudian kubagikan ke keluarga, teman, dan rekan kerja di Indonesia. Ada yang tahu bahwa aku pergi ke London, ada yang tidak tahu. Sabil dan Nerissa tentunya terang-terangan menunggu buah tangan.

"Tapi gue lebih tunggu oleh-olehnya itu Andrew sih," kata Nerissa tadi pagi melalui pesan grup yang berisi kami bertiga.

"Oke, tapi kalau itu sih gak bakal gue bagi, ya. Buat gue aja," balasku. Sekilas membayangkan pulang bersama Andrew dan mengejutkan seluruh rakyat Indonesia. Aku tidak peduli dengan komentar negatif yang kemungkinan besar kuterima, terutama dari sisi keluarga yang pro dengan mantan calon suamiku. Gila juga, ya ... aku sudah jelas-jelas diselingkuhi, tetapi menurut mereka aku tetap harus menikah dengan pria bajingan itu. Alasannya karena dia merupakan pria mapan secara materi. Aku tidak habis pikir. Mama, yang tahu rasanya diselingkuhi, melarang keras dan mengutuk mantanku itu. Katanya, "Memangnya mereka yang akan menanggung rasa sakitmu kalau mempertahankan pernikahan itu? Perselingkuhan adalah penyakit yang tidak bisa disembuhkan." Dan aku setuju dengannya. Perselingkuhan pasca pernikahan hanya membawa penderitaan bagi sang pasangan dan anak-anak mereka. Lagipula jika bicara mapan, Andrew jauh lebih di atas si pria bajingan.

"Ada lagi yang mau disimpan ke bagasi?" Andrew menahan pintu bagasi mobilnya.

"Tidak."

"Kupikir ada karena kau masih berdiri di sini." Dia menutup pintu bagasi dengan perlahan, tanpa mengetahui bahwa alasanku terus berdiri menemaninya adalah karena aku suka memperhatikannya.

Cara Andrew menata barang-barang dan memastikan tidak ada yang terjepit dan rusak, caranya bertanya padaku apakah ada barang yang tertinggal atau ingin dimasukkan ke bagasi. Semuanya kuperhatikan dengan penuh kekaguman. Andrew benar-benar sosok pria idaman yang dibutuhkan wanita. Tumbuh bersama seorang ibu penyayang dan kakak yang membimbingnya, Andrew tahu betul cara memperlakukan seorang wanita. Dia tidak pernah menempatkanku ke situasi yang tidak nyaman. Memang ada beberapa momen canggung di antara kami, namun kecanggungan itu diciptakan karena kami sama-sama tidak tahu harus bereaksi seperti apa terhadap satu sama lain—karena aku menyukai Andrew dan dia menyukaiku. Dia sangat lembut, perhatian, sopan, pintar, hangat. Jika ada yang bertanya padaku untuk mendeskripsikan Andrew, aku dengan senang hati akan menggunakan ribuan kata kerja positif.

"Sebentar lagi gelap, ayo pulang." Andrew menepuk pelan bahuku setelah memastikan pintu bagasinya tertutup dengan sempurna.

"Ke London?"

"Ke London."

Kuakui memang menghabiskan tiga hari di Manchester dan Bakewell memberikan perspektif baru tentang Inggris, yang bukan cuma London seperti yang Andrew bilang. Namun, hatiku sudah jatuh cinta terhadap kota itu. Kendati Andrew membawaku mengunjungi setiap kota dan desa indah di tanah Britania Raya, rasanya pilihanku akan tetap jatuh pada London. Ada sesuatu dalam kota itu yang membuatku sangat mendambakannya, seolah-olah aku terpanggil dan terjebak di kota itu. Ada pintu keluarnya, tapi tidak ada kunci untuk membuka pintu itu atau hanya aku yang tidak ingin mencari kuncinya karena untuk apa? Aku tidak merasa terjebak. Aku tidak ingin keluar. Aku tidak ingin pergi meninggalkan London.

Kecintaanku pada London sudah dikenal oleh kebanyakan orang yang mengenalku. Tidak sedikit pula yang menganggapku aneh karena katanya aku terlalu meromantisasi London, yang tentunya tidak kupedulikan. Aku tidak menyangkal bahwa ada sisi gelap dan negatif dari London, seperti setiap tempat lainnya di seluruh dunia. Akan tetapi, aku juga tidak bisa menepis kenangan indah yang tercipta di kota ini. Hanya aku yang merasakannya jadi pendapat orang lain tidak valid menurutku.

Journal: The LessonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang