Keputusanku untuk mengambil mobil yang dipinjam Kate adalah pilihan yang tepat. Waktuku dan Zevania terbatas jadi rasanya hanya membuang-buang waktu jika menggunakan transportasi umum—kita bicara tentang ketepatan waktu. Dan, selain alasan itu, ada satu lagi yang membuatku yakin bahwa membawa mobil adalah pilihan tepat. Zevania sudah berdiri di depan Stadion Old Trafford selama dua menit tanpa mengedip. Dia terhipnotis oleh foto para pemain Manchester United yang terpampang di bagian depan stadion, persis seperti malam tahun baru di depan London Eye.
Ketika hendak ke mobil untuk mengambil kamera, aku mendengar Zevania terisak. Aku menghentikan langkah dan kembali ke sisi Zevania, yang berdiri tepat di depan patung Manchester United's 'Holy Trinity': Sir Bobby Charlton, George Best, dan Denis Law. Legenda klub favorit Zevania. Dia mengusap air matanya sebelum jatuh membasahi pipinya. Dia tidak pernah menangis seperti itu ketika berada di London, bahkan di depan London Eye, yang menjadi ikon favoritnya.
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Memeluknya? Tapi ... dia menangis bahagia, benar kan? Dia terharu karena berada di stadion klub favoritnya—mimpi bagi semua penggemar klub sepak bola, terutama yang berasal dari negara lain. Beda kasusnya denganku yang bisa mampir ke Emirates kapan pun. Rumahku hanya berjarak dua gang dari kandang Arsenal itu.
"Tidak bisa, ya, kalau turnya dimajukan jadwalnya jadi hari ini?" Zevania bertanya disela-sela sesi tangisnya.
"Sayangnya tidak bisa, kita harus menunggu sampai Senin." Seandainya aku bisa, aku akan melakukannya. Namun, jadwal tur stadionnya sudah penuh. Di sekitar kami saja sudah banyak para pengunjung stadion yang berfoto. Jadwal akhir pekan pasti penuh, aku dapat jadwal untuk hari Senin. "Kau mau kufoto?"
Satu gelengan kepala dari Zevania. "Senin saja. Suasana hatiku sedang tidak baik. Fotonya nanti jelek."
"Alright, ma'am. Off now?" Kini perasaanku dipenuhi rasa bersalah. Hari ini adalah Sabtu dan tur stadionnya sudah penuh. Selain itu, kami pasti tidak akan santai karena harus segera ke rumah keluargaku.
Zevania menurut. Kami kembali ke mobil dan berkendara menuju rumah nenekku yang terletak di Ravenswood Road, tidak jauh dari sini. Aku sengaja mampir dulu sebentar ke stadion karena Zevania pasti akan memintanya atau bertanya apakah stadionnya dekat dari rumah nenekku.
"Maaf karena menangis." Zevania meraih tisu dari atas dashboard.
"Tidak perlu minta maaf, aku mengerti perasaanmu." Lagi pula Zevania tampak lucu ketika menangis tapi sambil tersenyum. Hidungnya merah.
Mobil tiba di sebuah rumah berbata merah khas bangunan di Manchester kebanyakan. Halamannya lebih luas daripada rumahku di Islington. Aku memarkirkan mobil di halaman depan. Ketika mesinnya mati, aku mendengar helaan napas dari Zevania yang memandangi pintu berwarna putih di arah jam satu. "Ini rumah nenekku."
"Semua keluargamu berkumpul di sini?" tanyanya seraya melepas sabuk pengaman.
Aku paham dengan maksud pertanyaan Zevania. "Kurasa hanya ada nan dan bibiku. Kate dan mum sepertinya ada di venue." Jawabanku tampaknya bukan yang ingin didengarnya. "Tidak perlu khawatir. Ingat kata mum? Nan akan menyukaimu. Bibiku juga bukan orang yang ribet. Keluargaku pasti akan menyambutmu."
Entah mengapa aku malu sendiri mengatakan hal ini karena untuk pertama kalinya aku membawa perempuan ke keluarga besarku. Sebelumnya aku tidak pernah membawa siapa-siapa, termasuk June. Nan pernah bertemu June saat beliau ke London dan sangat menyukainya. Aku yakin nan akan menyukai Zevania juga.
"Aku lupa tidak membawa makanan. Bagaimana bisa aku melupakannya lagi?" Ternyata itu keresahan Zevania. Memang sudah budayanya, ya, membawa buah tangan ketika berkunjung ke rumah orang lain?
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal: The Lessons
Romantizm[BOOK #3 OF THE JOURNAL SERIES] London dan Zevania adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Seolah ada benang tak kasat mata yang mengikatnya selama 10 tahun terakhir, Zevania kembali menapakkan kakinya ke kota itu. Masih London yang sama, dengan...