Untuk pertama kalinya dalam entah sekian lama, kepalaku sungguh berat. Rasanya seperti baru saja dihantam oleh tendangan penalti yang paling kencang dalam sejarah persepakbolaan dunia. Mungkin karena terlalu lama tidur, pikirku. Namun, begitu membuka kelopak mata, aku langsung dikejutkan oleh fakta bahwa aku tidak berada di kamarku, melainkan di sebuah ruangan yang asing. Dinding ruangan ini berwarna putih polos, bukan dinding yang dipenuhi oleh foto-foto hasil jepretanku. Aku melirik ke jendela, Sungai Thames. Rumahku tidak dekat dengan Sungai Thames, yang dekat dengan sungai ini adalah...
Aku telah mengacau.
Aku terkesiap. Kuabaikan serangan sakit kepala ketika tubuhku berganti posisi, duduk di atas kasur. Kedua tanganku memijit pelipis kepala. Aku coba mengingat terakhir kali aku dalam kondisi sadar: aku pergi bersama Zevania ke pub milik Steven, temanku, yang juga bertunangan dengan Keira Hall. Alasanku ke sana adalah agar Zevania dan Keira menyelesaikan masalah mereka. Awalnya semua berjalan sesuai rencana hingga datang Oliver dan teman-teman kuliahku. Sial. Sebelumnya Steven sudah memberitahuku bahwa Oliver tidak ada di sana dan memang benar, tapi kurang tepat. Oliver belum ada di sana dan baru tiba setelah kedatanganku. Mereka menyadari kehadiran Zevania dan mengerjaiku dengan segelas beer, tahu betul bahwa kadar toleransiku terhadap alkohol nyaris nol—Kate selalu meledekku masih kecil karena tidak bisa minum alkohol.
Seharusnya aku membawa Zevania bertemu dengan Keira di tempat lain, bukan di sarang teman-temanku itu. Kepalaku yang berat terpaksa harus berpikir lagi, mengingat-ingat kejadian semalam. Hal terakhir yang kuingat adalah aku dan Zevania pulang naik bus.
Dan, busnya tidak sampai ke rumahku.
Aku memijat kening yang berdenyut, pusing karena alkohol, tidur yang lama, dan kata-kata makian terhadap diriku sendiri.
What have you done, Andrew?
Mataku memeriksa sekitar, barang-barangku lengkap tergeletak di atas meja dekat jendela sebelah kiriku. Aku mencondongkan tubuh untuk meraih ponsel yang baterainya tinggal 16%. Sudah pukul setengah sembilan pagi. Seharusnya aku sudah berjanjian dengan Zevania melanjutkan perjalanan kami berkeliling London.
Pintu hotel terbuka. Terdengar suara langkah orang masuk.
Jantungku berdegup tidak karuan. Aku buru-buru membenarkan posisi. Haruskah aku kembali pura-pura tidur atau membereskan barang-barangku dan bersiap untuk pergi? Lalu, apa yang harus kukatakan?
Tidak ada waktu lagi.
"Nia—I mean, Zeva, is asking me to wake you up but there you are." Kembaran Zevania yang muncul dari balik pintu. "Dia menunggumu untuk sarapan di bawah."
Embusan napas panjang penuh kelegaan keluar begitu saja. Tentu saja, Andrew. Tentu. Pikiranku benar-benar kacau. Tidak peduli dengan keberadaan Zevo, tubuhku berangsur kembali ke dalam selimut. Ingin tidur untuk selamanya saja.
"Hei, hei! Jangan tidur lagi! Kau dengar kan aku bilang Zeva sudah menunggu di bawah?" Zevo menarik paksa selimut yang membalut tubuhku. "Ini hari keempatnya di London. Sisa enam hari lagi. Kau sudah merusak hari ketiganya, jangan merusak hari keempatnya."
"Merusak hari ketiganya?" Tubuhku sontak kembali bangkit, mengejutkan Zevo yang segera mundur.
"You know what? I was about to beat you last night." Zevo menarik kursi yang ada di ujung kamar. "Imagine how much I trusted you to protect and take care of my twin sister and how much I was shocked when I got a call from her at midnight, asking me to pick her up at South Bank just because you were drunk?"
South Bank? Untuk apa Zevania dan aku ke sana? Bukannya terakhir kami berada di Brixton?
"Aku tidak ingat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal: The Lessons
Romance[BOOK #3 OF THE JOURNAL SERIES] London dan Zevania adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Seolah ada benang tak kasat mata yang mengikatnya selama 10 tahun terakhir, Zevania kembali menapakkan kakinya ke kota itu. Masih London yang sama, dengan...