29 | The Stanleys, Pt. II

114 28 22
                                    

"Membeli pembalut di depan Andrew, menggunakan kacamata di dalam kereta, mengaku bahwa aku bergadang semalaman karena membaca jurnalnya, tertidur di bahunya, rakus karena memakan jatah roti miliknya, menangis di depan Old Trafford, salim dengan neneknya, mengutarakan kekecewaan karena tidak ada pemandangan Old Trafford dari balik jendela. Apa lagi ya?" Jariku terangkat satu per satu di udara menghitung kejadian memalukan di depan Andrew yang kulakukan hari ini. Aku menutup seluruh wajahku seraya menggulingkan diri di atas kasur, lalu membenamkan wajah pada bantal. Oh, pertanyaan ambigu itu yang membuat suasana berubah canggung ketika Andrew mengantarkanku ke kamar ini.

Sebentar.

Aku mengubah posisi tidur menjadi duduk tegak, merapikan kembali posisi bantal. Aku bergeser sedikit dari posisi awal menjadi duduk di sisi tempat tidur. Masih di sana. Ransel Andrew. Tidak mungkin kan? Tidak mungkin. Aku bisa gila. Berapa lama lagi aku di tanah Britania ini? Lima hari? Empat hari? Aku masih ada waktu untuk mengubah jadwal pesawatku, mungkin dengan sedikit biaya tambahan. Tapi itu artinya aku tidak akan ke Old Trafford. Dan, masa aku kabur setelah berhasil meluluhkan hati neneknya Andrew—tidak sepenuhnya luluh, tapi sedang dalam proses.

Mendadak, aku merasakan pergerakan yang mencurigakan. Sontak aku bangkit dari tempat tidur dan mengecek sprei putih bersih. Tubuhku dibanjiri lega seketika. Aku berjongkok di sisi tempat tidur dan memperhatikan koper dengan dramatis. Kalau ada yang melihatku saat ini juga, pasti mereka berpikir bahwa aku baru saja diusir.

Kepalaku terasa berada dalam perpaduan antara kebisingan dan keheningan. Bising karena berbagai macam skenario ternekat menyuarakan ide gila dan hening karena kini aku mendengar suara langkah kaki seseorang semakin dekat dan dekat hingga langkah kakinya berubah menjadi suara ketukan pintu. Tubuhku kembali menegang layaknya karakter dalam film-film horror Hollywood yang tidak menyeramkan tapi mengejutkan. Itu pasti Andrew. Iya kan? Tidak mungkin neneknya.

Sekarang lebih baik Nan yang datang menghampiriku daripada Andrew.

"Zevania?" Iya, benar itu Andrew. Tidak mungkin Nan.

Dengan penuh keraguan, aku segera membuka pintu kamar yang tidak terkunci. "Hmm?" Respons macam apa itu? Aku ingin menjepit kepalaku sendiri di antara daun pintu. "Ada apa?"

Andrew tampak sama canggungnya sepertiku. Mungkinkah teringat dengan percakapan kami sebelumnya? Padahal dia selalu terlihat percaya diri. "Mum mengajak makan siang. Kau belum makan kan?"

"Oh." Respons apa lagi itu? "Oke." Aku menutup pintu kamar di belakangku dan Andrew bergeser sedikit untuk memberi jarak. Kami saling bertukar pandang untuk beberapa detik sebelum akhirnya Andrew menyelamatkan kami dari jurang kecanggungan dengan cara berjalan mendahuluiku menuruni anak tangga.

"Zevaaaaaania!" Selama enam hari di London, ini sambutan paling heboh yang pernah kuterima. Mikayla tidak menyambutku seperti ini meski dia jadi teman terdekatku dulu. Ya, mungkin karena dia menggendong anaknya juga, dan aku tahu dia bukan tipe orang yang suka berteriak antusias kecuali ketika dia menyoraki Ryan di lapangan. Ryan tidak mungkin, kami tidak begitu dekat. Andrew ... aku bisa mati di tempat kalau Andrew bertingkah seperti kakaknya yang kini sudah melingkarkan tangannya di tubuhku. "Kau mini sekali," komentarnya setelah melepaskan pelukan. Dia mundur selangkah untuk memindai penampilanku dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Kau kerja apa sekarang? Mau jadi model untuk butikku? Rambutmu bagus sekali. Hitam dan lebat."

"Kate!" Andrew berdesis seraya menggelengkan kepalanya. Kupikir Andrew akan meraih tanganku, tetapi dia justru melenggang pergi meninggalkanku berdua dengan Kate di lorong tangga. Tadi dia meninggalkanku dengan neneknya, sekarang kakaknya. Sebelumnya juga dia meninggalkanku dengan ibunya saat kami mengunjungi rumahnya di Islington.

Journal: The LessonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang