Part 11

12.3K 162 0
                                    

Amie POV

"Kau tidak bisa lari lagi, sayang" ujar Kevin.

Aku berteriak, tapi sia-sia. Tidak ada seorang pun disini.

Kevin mengeluarkan pisaunya dan mulai menyentuh kulitku dan menusuknya dalam-dalam.

Aku tersentak ketika seseorang mengguncang-guncangkan tubuhku dan memanggil namaku.

"Amie."

Aku menatap mereka secara bergilir dengan senang. Mereka sudah pulang. "Ashley. Akhirnya."

"Ayo masuk ke dalam." ujar Ashley. Aku menurut.

"Merepotkan." bisik Peter.

Aku mengabaikannya.

"Aku tahu kau lapar. Tetapi kami hanya ada roti. Aku lupa membeli bahan-bahan makanan hari ini. Apa kita mau keluar dulu membeli makanan?" ujar Ashley dari dapur.

Tidak tidak! Bagaimana jika aku nanti bertemu dengan Dylan? Atau Kevin?

"TIDAAAK!" aku berteriak. Aku tidak mau melihat wajah mereka lagi! Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku. Otakku mulai mengulang kejadian tadi dan kejadian beberapa bulan lalu. Aku memukul kepalaku dengan keras berulang-ulang berharap memori itu hilang dengan sekejap.

"Amie. Jangan lakukan itu." ujarnya sambil menahan tanganku. Aku menangis. Menyadari nasibku ini. Mengapa aku tidak bisa hidup normal seperti oranglain? Aku merasa seperti orang tersial yang pernah hidup di dunia ini. Aku tidak diinginkan. Aku tidak berharga. Aku beranjak ke arah dapur dan mengambil pisau dan memberi aba-aba pada diriku sendiri untuk menancapkan pada uratku.

"Amie tidakkk!"

"Argh!" Aku melepaskan pisaunya. Persetan jika pisau itu mengenai kakiku. Luka tadi... Goresan yang dibuat Kevin tadi tak sengaja dipegang Ashley. Sialan. Aku jadi mengingat biadab itu lagi!

Ashley terkejut ketika ia melihatku melepaskan pisaunya. Reflek ia menarikku mundur. Pisau itu menghantam lantai yang membuat kesan ngilu jika mendengarnya. Lalu ia melepaskan genggamannya yang tadi berada di lukaku dan menaruh pisau itu pada tempatnya. Aku mulai menangis lagi.

"Amie... Semua akan baik-baik saja." Ia memelukku.

"Kapan hal itu akan terjadi?" Ujarku dalam isak tangis.

"Aku tidak tahu pasti. Tetapi kau bisa percaya padaku."

Ia melepaskan pelukannya.

"Kau mau aku membuatkan roti untukmu?"

Aku mengangguk. Aku kembali ke sofa. Kira-kira 5 menit kemudian, Ashley membawakan sepiring roti untukku.

"Terimakasih." ujarku.

Ashley duduk di sebelahku dan menyalakan tv. Ketika kami sedang asyik menonton, Peter berdiri tepat di depan kami.

"Oh, ayolah, Peter. Kami sedang menonton." Ujar Ashley.

"Aku ingin berbicara."

"Bicaralah."

"Aku hanya ingin berbicara padamu."

"Tunggu setelah film ini habis."

"Itu akan memakan waktu lama." Peter lalu menarik tangan Ashley dan masuk ke kamar. Tidak lupa untuk menutupnya kembali. Hening. Kecuali, ya, suara percakapan dari tv ini. Aku mematikan televisi ketika filmya sudah habis. Tiba-tiba handphoneku berbunyi pertanda ada pesan masuk. Dylan.

Kau membuat wajahku babak belur. Ini semua salahmu. Mengapa kau tidak layani saja dia seperti kau melayani para hidung belang di bar kemarin? Awas jika aku berhasil menangkapmu.

Aku berhasil menenangkan diriku agar tidak melakukan hal tadi. Tak lama kemudian pintu terketuk dari luar. Aku mengintip dari lubang kunci. Aku terkejut dan berjalan pelan-pelan ke arah pintu kamar Ashley. Berusaha tidak membuat suara sekecil apapun. Mungkin aku tidak melihat siapa di luar sana, tetapi aku bisa mengenali pemilik kaos itu. Ya, Dylan. Aku membuka pintu kamar. Peter sedang menggoyang-goyangkan pinggulnya agar batangnya memberikan surga dunia untuk Ashley. Payudara Ashley yang lumayan besar diremas oleh kedua tangan Peter. Bibir mereka saling bertemu. Sesekali mengeluarkan desahan. Pemandangan yang membuat otakku memaksa mengingat kejadian tadi.

"Kumohon aku tidak mau mengingat kejadian tadi." ujarku. Mereka terkejut. Peter menatapku sebal. Tetapi masih melakukan aktivitasnya.

"Amie?!"

"Itu persoalan yang mudah. Kau bisa menutup matamu."

Aku menutup mataku dan telingaku. Samar-samar aku bisa mendengar suara desahan mereka.

"Pete... Ahh... Sudah..."

"Sedikit lagi, sayang. Aku hampir di puncaknya."

"Pete... Ahhh."

"Kau sangat basah. Biarkan aku membersihkanmu."

"Cukup, Peter."

Peter menghela nafas. "Baiklah. Sekarang kau bisa beritahu kami mengapa kau berada disini." ujar Peter.

Aku masih menutup mataku. Memberikan mereka waktu untuk berpakaian.

"Dylan. Di luar." ujarku.

"Kau bergurau. Ini bukan waktu yang tepat untuk bergurau. Kau sudah mengacaukan waktu kami daritadi. Sekarang aku..."

"Sudahlah, Peter. Bersembunyilah di sini dan matikan lampu kamar. Aku akan menemui Dylan. Peter, jangan melakukan hal bodoh lagi, kumohon."

"Hal bodoh apa maksudmu? Tentang Rick si keparat itu maksudmu?"

"Ya. Ayo."

Setelah mereka menutup pintu kamar, aku mematikan lampu dan menempelkan telingaku pada pintu kamar.

"Halo, Ashley. Dan halo... Err... Kalau tidak salah namamu Peter, ya?"

"Hai, Dylan. Ya dia Peter. Bagaimana kau tahu? Masuklah."

"Terimakasih. Tentu aku tahu karena aku seorang peramal."

Terdengar suara tertawa Ashley.

"Kau mau teh?"

"Tidak, terimakasih. Sebenarnya aku datang kesini hanya untuk bertanya tentang adikku. Kau tahu dia dimana?"

"Aku tidak tahu. Aku tidak bisa menemuinya selama kira-kira 1 bulan..."

"1 hari lalu di bar. Kau tidak harus bilang pada semua orang bahwa kau tidak mendapatkan haid selama 1,5 bulan, sayang. Yah, kau tahu. Aku sudah melakukan seks dengannya dan dia takut jika itu sebuah kecelakaan."

"Oh jadi kalian bertemu dengannya di bar kemarin? Kukira dia menjual dirinya pada pria hidung belang disana."

"Mustahil. Dia perempuan baik-baik. Dia sahabatku."

"Ya. Yah, kecuali jika ada seseorang yang..."

"Mengapa kau bertanya seperti itu? Bukankah kalian kakak-beradik? Seharusnya kau lebih tahu, bukan?" potong Ashley.

"Apa dia berada disini?"

"Kubilang, dia tidak ada disini. Sepertinya kau perlu ke dokter telinga."

"Amie? Amie?"

Astaga. Dylan benar-benar mencariku. Aku langsung berlari dengan sangat pelan ke arah lemari dan bersembunyi disana. Aku tidak bisa mendengar jelas percakapan mereka tetapi aku masih bisa mendengar Dylan memanggil namaku. Teriakannya semakin jelas. Tiba-tiba pintu kamar terbuka.

"Amie, Amie! Keluarlah!"

"Kau yang seharusnya keluar daritadi, bodoh. Ashley dan aku sudah mengatakannya berulang kali bahwa dia tidak ada disini."

Pintu lemari sebelah kiri terbuka. Tangan Dylan meraba-raba seluruh pakaian disini. Tangannya mendekat ke arahku. Semakin mendekat. Semakin mendekat.

Hello, readers. Gimana ceritanya? Gue ngerasa kok tambah gajelas... Seperti biasa, vote dan comment gue tungguu :)

Second ChanceWhere stories live. Discover now