Part 13

12.2K 187 0
                                    

Ashley POV

"Astaga, Ashley. Mom sangat mengkhawatirkanmu." Ia memelukku.

"Oh, aku juga. Eh, maksudku, aku sangat merindukanmu."

Mom menatapku bingung. Aku menyengir.

"Kau agak... Aneh." ujarnya. Ia memelukku lagi.

"Sebaiknya kau tidur, Ashley." ujar Dad. "Tidak baik tidur malam-malam."

"Ya, Dad." Aku langsung berjalan ke arah tangga.

"Tidak ada kecupan selamat malam untuk Mom?" Aku berbalik dan mencium pipinya. "Selamat malam." Mom tersenyum.

"Bagaimana denganku?"

Aku melakukan hal yang sama dan langsung naik ke kamar. Sangat berbalik, bukan, kehidupanku di luar dengan kehidupanku di rumah? Di luar sana aku seperti anak yang tahu tentang
seks--bahkan aku sudah pernah melakukannya dengan kekasihku--eh, Peter. Di depan orangtuaku aku adalah anak yang polos yang sangat membutuhkan perlindungan dan kasih sayang dari mereka. Omong-omong tentang Peter, aku jadi teringat ucapannya lagi.

Sesampainya di kamar, aku melamun memikirkan kejadian tadi. Apa yang dikatakan Peter itu benar? Pertanyaan itu terus menghantuiku.

"Ashley? Sayang? Kau masih bangun?" teriak Mom dari lantai bawah.

"Ya, Mom. Ada apa?"

"Bisakah kau turun sebentar dan melihat siapa tamu kita malam ini?"

"Aku akan segera turun." Aku mengganti bajuku dengan piyama dan langsung ke kamar mandi untuk menggosok gigi. Tidak lupa untuk mencuci mukaku. Aku juga sedikit mengacak-acak rambutku. Kau tahu. Aku melakukan ini agar tamu itu tahu kalau aku hanya punya sedikit waktu untuknya karena hey, kau tidak lihat aku sudah pakai piyama?

"Ashley? Kau ini lama sekali."

"Ya, Mom, aku turun." ujarku sambil melangkahkan kakiku menuruni tangga.

"Aku akan tidur sekarang." ucapku ketika aku melihat Peter.

"Tidak, kau tetap disini, Ashley. Kami tidak pernah mengajarimu hal buruk seperti itu." ujar Dad.

"Ada apa dengan kalian berdua?" Mom melihat Peter dan aku bergantian.

"Kalian bisa cerita pada kami. Kami dengan senang hati membantu." tambah Mom sambil tersenyum meyakinkan.

"Casey." Dad setengah berbisik.

"Aku hanya ingin membantu mereka. Itu saja. Apa itu salah?"

"Biarkan mereka menyelesaikan masalah mereka sendiri. Kau tidak usah ikut campur."

"Aku tidak ikut campur! Aku sudah bilang kalau aku hanya ingin membantu mereka, Robert!"

"Ya, kau ikut campur."

"Tidak, aku tidak!"

"Ya Tuhan." Peter yang sedari tadi tidak membuka mulut akhirnya berbicara.

"Mom, Dad! Cukup! Aku akan berbicara empat mata dengan Peter." ujarku sambil menarik tangan Peter ke luar rumah.

Aku langsung duduk di teras. Aku tidak akan membuka mulut sebelum dia duluan.

"Ash. Maafkan aku."

Aku diam beberapa detik sampai akhirnya aku tahu hanya ucapan itu yang bisa ia keluarkan dari bibirnya. "Hanya itu yang bisa kau ucapkan?" Aku tertawa sarkastis. "Kau tahu, tidak? Sudah berapa kali kau mengucapkan omong kosong itu? Dan sudah berapa kali kau juga melakukan hal yang sama, yaitu tidak merubah sikapmu?" Peter hanya menunduk. "Sepertinya aku tidak perlu mengingatkannya lagi padamu."

"Ash..."

"Omong-omong tentang ucapanmu yang berkata Amie menjualku. Aku percaya."

Peter tersenyum tanda kemenangan. "Aku sudah bilang padamu. Akhirnya kau percaya padaku."

"Aku percaya itu hanya tipuanmu saja agar aku tidak mau berteman dengan Amie lagi. Ya, 'kan?

"Tidak, tunggu. Dengarkan aku."

"Amie dan aku sudah berteman sejak lama. Jadi aku lebih tahu sifat dan kelakuannya seperti apa dibanding kau! Kau tidak usah sok tahu!"

"Ashley, aku serius! Aku tidak berbohong padamu. Aku..."

"Hubungan kita sudah berakhir."

"Tapi... Kenapa?"

"Kau ini semacam bodoh atau apa? Pikir saja sendiri!"

"Ash, maafkan aku. Aku hanya..."

"Sudahlah. Aku tidak mau berbicara denganmu lagi." ujarku sambil masuk ke ruang tamu dan lari ke kamar. Aku langsung mengunci pintu. Air mataku mengalir. Apakah aku termasuk gadis yang bodoh? Menangisi pria yang sudah menyakitiku berkali-kali?

Tiba-tiba nama Amie terlintas di otakku. Amie! Dimana dia sekarang? Apa yang bisa aku bantu jika aku tidak tahu dimana dia? Aku mengambil ponselku dan mencoba menghubungi Amie.

"Hai, ini Amie. Tinggalkan pesan setelah nada berikut: beep!"

"Amie beritahu aku dimana kau sekarang. Kumohon kumohon kumohon. Hubungi aku jika kau sudah mendengarkan pesan ini."

Amie POV

"Ini bayaranmu." Ia melemparkan uang ke atas perutku sambil mengeluarkan asap rokok dari mulutnya.

"Sialan kau." umpatku dalam hati. Ingin sekali aku menampar wajahnya.

"Kau bisa pergi dari sini sekarang." lanjutnya.

Apa dia sudah gila?!

"Aku..."

"Kau mau berbicara apa lagi? Kau mau protes karena masalah pakaianmu yang kusut dan sedikit sobek itu, eh?" ujar Kevin sambil menunjuk pakaianku yang tergeletak di lantai. "Aku tidak peduli."

Perlahan air mataku menetes. Oh, astaga. Untuk apa aku menangisi pria bajingan seperti dia? Aku langsung mengusap air mata yang jatuh ke pipi. Aku beranjak dari atas tempat tidur dan memungut pakaianku. Aku tidak peduli jika orang-orang diluar sana melihatku seperti "Hey, kurasa dia jalang yang baru saja melayani pelanggannya." atau "Lihatlah kiss mark di sekitar lehernya dan bibirnya yang bengkak! Dia pasti sangat liar hari ini." melihat aku mengenakan pakaianku yang robek. Aku mencantelkan tas selempangku di bahu.

"Omong-omong, kau lumayan juga." ujar Kevin sebelum aku keluar dari kamar hotelnya.

Ketika aku di luar hotel, benar saja, orang-orang yang masih berlalu-lalang di malam hari melihatku seperti dugaanku sebelumnya. Bukti itu semakin kuat saat mereka melihatku berdiri di depan hotel. Rasanya aku ingin menghilang dari muka bumi ini. Apa yang akan kulakukan sekarang? Pulang ke rumah dan mengurung di kamar terus menerus agar aku tidak bertemu si brengsek itu? Atau pergi ke apartemen Peter dan--tidak tidak. Aku tidak mau bertatap muka dengan si mulut keparat itu. Tetapi bagaimana dengan Ashley? Dia satu-satunya sahabat dan harapan yang kumiliki!

Aku harus menghubungi Ashley. Aku merogoh tasku dan mengambil handphone. Sialan, handphone-ku mati. Astaga, apa yang harus kulakukan sekarang!? Air mataku menetes kembali. Aku berjalan tanpa tujuan. Kedua tanganku secara otomatis memukul kepalaku dan menjambak rambutku sendiri. Aku tidak berguna. Tidak diinginkan. Selalu dipandang remeh orang-orang. Aku benci hidupku. Mengapa aku tidak bisa hidup normal seperti remaja lainnya? Aku juga ingin seperti mereka. Aku tidak layak hidup di dunia ini. Aku...

Tiba-tiba seorang pria mencengkram tanganku. Aku terkejut setengah mati. Sebelum aku melakukan perlawanan, ia mendorongku ke tanah. Aku memejamkan mata menahan sakit. Setelah rasa sakitnya mulai berkurang, aku memberanikan diri untuk membuka mata. Pria itu mendekatiku. Aku menjauh dan menjauh sampai akhirnya punggungku menabrak dinding.

"Apa yang kau mau?" Aku bertanya pada si pemilik mata berwarna hijau tersebut.

Hiiiiiiii! Sorry kelamaan update. Dari kemaren bingung mau lanjutinnya gimana sampe di edit 3 kali. *curhat* Aku butuh vomments nih, readers! Supaya aku tau cerita aku diminatin apa ngga hehe. Btw, thankyou readers yang read udah 5k!❤

Second ChanceWhere stories live. Discover now