Bandung

37 32 9
                                    

Tidak seperti biasanya, hari ini Revan memilih bangun lebih pagi padahal ini adalah hari minggu. Setelah mendengar keputusan Alliya kemarin, Revan bertekad untuk mencari tahu penyebab kematian kembarannya itu. Revan pikir mungkin Alliya akan merasa lebih baik jika dia mengetahui kebenaran tentang penyebab kematian Devan.

Revan sudah siap dan rapi, dia memakai celana jeans berwarna hitam, kaos oblong warna putih yang dilapisi dengan kemeja warna hitam dan sepatu kets berwana putih. Revan keluar dari kamarnya dan membawa helm hitam full face kesukaannya, sebenarnya Revan ingin mengajak Alliya sekalian. Namun niat itu ia urungkan mengingat keadaan Alliya saat ini.

" mau kemana Re? " tanya Alvaro yang tak lain adalah papa dari Revan dan Devan, ya nama belakang Devan dan Revan memang diambil dari nama papanya

" mau ke Bandung pah, jenguk mamah. Mau sekalian ke makan Devan " jawab Revan terus terang

" papa mau ikut? " tambah Revan

Alvaro tampak berfikir, hari ini memang dirinya sedang tidak ada jadwal.

" yaudah ayo papa ikut " jawab Alvaro

" eehhh tunggu dulu, kamu ke Bandung mau naik motor? " tanya Alvaro

" iya pah " jawab Revan seadanya

" gausah, naik mobil papa aja. Balikin helm kamu! " Seru Alvaro

Revan hanya mengikuti kemauan papanya, ia kembali kekamarnya untuk mengembalikan helmnya. Meskipun kedua orang tua Revan bercerai namun hubungan mereka tetap baik-baik saja, mereka tetap seperti keluarga. Bahkan seperti keluarga harmonis, hanya saja tempat tinggal mereka berbeda. Revan dan Devan juga tidak marah ataupun tertekan gara-gara perceraian kedua orangtuanya, mereka pikir itu sudah keputusan orangtuanya. Mereka mendukung keputusan orang tuanya, tidak mau ikut campur kedalamnya. Sebenarnya alasan Alvaro dan Bella bercerai karena mereka sibuk sendiri dengan pekerjaan mereka, untuk menghindari pertengkaran dan mungkin saling menyalahkan satu sama lain karena terlalu sibuk dalam pekerjaan akhirnya mereka memutuskan untuk bercerai.

" mau Revan aja yang nyetir pah? " tanya Revan ketika telah sampai di garasi

" emang kamu bisa nyetir mobil? " tanya Alvaro, pasalnya memang Revan tak pernah mengendarai mobil. Cowok itu selalu mengendarai motornya kemanapun dia pergi.

" yaahhh papah ngejek, Revan bisa ya bawa mobil " Ucap Revan tak kelewat biasa

" ya kamu kan naik motor terus, kamu juga nggak pernah minta dibeliin mobil ke papa. Jadi papa pikir kamu nggak bisa bawa mobil " Jelas Alvaro

" Revan tuh bisa bawa mobil pah, cuma Revan lebih suka aja naik motor " Terang Revan

" Kenapa nggak minta mobil ke papa? Kan lebih aman kelau pergi jauh naik mobil " tanya Alvaro lagi yang masih heran dengan putranya itu

" masih belum butuh pah " Jawab Revan singkat yang kemudian mengulurkan tanggannya meminta kunci mobil yang masih Alvaro pegang

" beneran kamu bisa bawa mobil? " Alvaro sangat ragu jika putranya itu bisa mengendarai mobil, maklum lah seumur-umur memang Alvaro belum pernah melihat putranya itu menyetir mobil.

" beneran pah, ya ampun parno amat " Revan mengeluarkan simnya dan memperlihatkannya pada Alvaro

" nah kalau gitu papa baru percaya " ucap Alvaro cengengesan

" susah amat percaya sama anak sendiri " cemooh Revan

" bukannya susah percaya Revan, tapi papa nggak mau mati gara-gara kamu yang pura-pura bisa nyetir mobil " terang Alvaro

Revan mendengus kesal, dia benar-benar tak habis fikir dengan papanya. Yakali dirinya mau membahayakan papanya, kalaupun benar Revan pura-pura bisa meyetir mobil, itukan sama saja dirinya berniat bunuh diri.

*** 

Mobil Hybrid berwarna hitam itu sudah terparkir rapi dedapan pekarangan rumah megah bercat biru muda, Revan dan Alvaro keluar dari mobil. Mereka langsung berjalan memasuki rumah itu, terlihat rumah itu sangat sepi. Revan menelisik rumah itu, ia kembali mengingat dimana dirinya berkunjung kerumah ini untuk menemui Devan terakhir kali dan berpamitan pada kembarannya itu sebelum pergi ke US. Namun setelah sampai disana Revan mendapatkan kabar kematian Devan.

" eehhh ada den Revan " ucap bi Surti yang tiba-tiba datang dari arah dapur

" eeh iya bi, mama mana? " tanya Revan

" dikamar den " jawab bi Surti 

" ada siapa bi, kok reme-rame? " tanya Bella yang berjalan menuruni tangga dengan pakaian rapi

Mata Revan dan Bella saling bertemu, Revan dapat melihat semburat kesepian dalam mata mamanya. Revan menghampiri Bella, lalu memeluk wanita itu hangat. Sebenarnya Revan sedikit kecewa dengan mamanya karena tak memberitahunya tentang penyebab kematian Devan, papanya juga berlaku sama. Namun Revan tak akan menyerah begitu saja mencari jawabannya, kata menyerah itu tidak ada dalam kamus Revan.

" mau kemana mah? " tanya Revan kemudian melepas pelukannya dari tubuh Bella

" mau jual mobil Devan " ucap Bella jujur

" kenapa dijual? " Revan memincingkan matanya

" daripada nggak ada yang pakek, nanti lama-kelamaan jadi rusak " terang Bella

" Revan ambil aja mobilnya, daripada mama jual " batah Revan

" bukannya kamu sukanya naik motor? " tanya Bella yang sudah hafal dengan putranya itu

" ya nggak apa-apa, dari pada mama jual. Itu tuh Devan belinya pakek uangnya sendiri, pakek uang yang dia kumpulin dari hadiah lomba-lombanya. Mama tega banget mau jual itu mobil " kesal Devan pada mamanya 

" iya, mama yang salah. Kamu ambil aja mobilnya " Pasrah Bella yang tak mau terlalu lama berdebat dengan putranya itu

Bella beringsut menghampiri Alvaro, dia menyalaminya dan mengajaknya mengobrol di ruang tamu. Sementara Revan, dia pergi ke kamar Devan. Ia berharap dapat menemukan petunjuk tentang kematian Devan disana. Pintu ber cat putih itu terbuka menampakkan kamar yang yang masih sama seperti tahun lalu.

Kamar itu masih tertata rapi dan bersih layaknya masih ada yang menempati, Revan masuk kedalam kamar itu. Matanya menelusuri setiap sudutnya ruangan itu, sampai ketika ekor matanya menemukan foto berpigura yang terpajang diatas meja belajar. Revan mengambil foto itu, dalam foto itu terdapat Devan dan Alliya yang memakai seragam basket. Senyum di bibir Revan terbit begitu saja, kembarannya dan Alliya memang sahabat baik.

" cocok banget sebenarnya mereka berdua, tapi sayang lo udah pergi dulu ninggalin dia Dev " gumam Revan yang tak sadar air matanya berhasil jatuh dipipi putihnya

Revan menghapus jejak air matanya, ia harus kuat bagaimanapun juga. Jika dirinya lemah maka siapa yang akan membantu Alliya melewati semua rasa sakitnya, Revan tak tega jika melihat Alliya kesakitan lagi.

Digeledahnya seluruh isi kamar itu sampai tak ada yang terlewat, namun sampai saat ini Revan belum berhasil menemukan apapun itu. Cowok itu menjambak rambutnya frustasi, setiap laci, lemari dan bahkan tas Devan sudah i periksa dengan teliti namun tetap saja tak ada hasil.

" pasti ada dan harus ada " gumam Revan 

  Semriwing angin masuk dari arah jendela, ternyata jendela kamar itu lupa tidak dikunci oleh Bella. Revan berjalan menuju jendela, ia berniat menutup jendela itu. Lagipula kamarnya juga tidak ditempati, jadi tidak perlu dibuka jendelanya.

blakkkk

" haduhh, apaan nih " Revan mengambil kertas yang jatuh tepat diwajahnya, mungkin saja gara-gara terkena angin.

Kertas persegi panjang berwarna biru tua itu menampilkan beberapa kata disana, tak lama setelah itu banyak kertas lain berjatuhan dari atas lemari. Revan memunguti semua kertas itu dan menjadikan satu. Ia berharap salah satu dari kertas itu akan memberikan petunjuk tentang penyebab kematian Devan.



KERTAS APA TUH?

MENURUT KALIAN KERTAS APA?

TULIS DIKOLOM KOMENTAR 

  

Alliya Dan KisahnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang