Bagian 10: Secercah Harapan
Langit malam semakin kelam tatkala hujan turun dengan deras. Jarak pandang menjadi semakin sempit, jalanan pun padat oleh kendaraan. Bagi Saka, waktu berjalan sangat lama. Padahal ia sudah sangat merindukan Kiara. Satu minggu lelaki itu tidak bertemu istrinya karena dinas ke luar kota. Lelaki itu juga sulit menghubungi Kiara karena sangat sibuk.
“Masih macet di depan sana, Pak?” Tanya Saka pada sopir kantor yang mengantarkannya pulang.
“Kayaknya sih begitu, Pak. Mungkin ada banjir di depan sana.” Sang sopir juga tidak bisa jelas melihat ke depan.
Memang apa sih yang Saka harapkan dari ibu kota kala hujan?
Tidak tinggal diam, lelaki itu membuka lagi ponselnya. Ia mencoba menghubungi Kiara, tapi tidak tersambung. Ponsel gadis itu tidak aktif.
Dari spion tengah, Pak Hendar, sopir kantor Saka memperhatikan gerak-geriknya. “Kok gelisah banget sih, Pak?”
“Istri saya hapenya nggak aktif,” jawab lelaki itu jujur.
“Oh, sudah menikah. Saya kira masih bujangan. Wah… mbak-mbak di kantor bisa patah hati kalau tau Pak Saka ternyata beristri.”
Salah Saka juga yang kelewat tidak akrab dengan teman kantornya. Jadi, tidak mengundang mereka ketika menikah tahun lalu. Lagipula, waktu itu kan Saka masih tergolong anak baru. Pernikahannya dengan Kiara juga diselenggarakan dengan sederhana.
“Kalau begitu, Pak Hendar besok bilang kalau saya sudah menikah ya.” Saka tersenyum kecil.
“Kalau dari potongan Pak Saka, pasti istrinya cantik dan apik orangnya.” Daripada bosan di jalan, mengobrol tentu saja bisa membunuh waktu saat macet seperti ini.
“Cantik banget, Pak. Saya setiap hari pas bangun tidur suka kaget sendiri bisa punya istri cantik begitu.” Mata Saka menerawang, ia teringat pagi harinya selalu menyenangkan. Padahal, ia hanya melihat wajah Kiara yang masih tertidur.
“Waduh… jadi mau lihat istri Pak Saka. Jadi, besok bisa saya kasih informasi lebih lengkap ke mbak-mbak di kantor kalau nggak bisa nikung!” Pak Hendar terkekeh.
“Ada-ada aja si bapak.”
“Sudah punya anak?” Pak Hendar berubah jadi wartawan dadakan.
“Belum. Kita masih muda sih pak, tapi ya doakan segera dikasih momongan. Saya sama istri suka anak kecil soalnya. Kadang di rumah juga sepi.” Entah mengapa, berbincang dengan Pak Hendar sungguh nyaman. Ia sampai membuka tentang harapannya pada sang rekan kerja.
“Semoga segera ya, Pak. Seru loh ngurusin anak. Apalagi kalau anaknya cowok semua.”
“Anak Pak Hendar cowok semua?”
“Iya. Anak saya ada enam dan semuanya cowok. Yang paling besar sekarang sudah SMA kelas dua. Terus adiknya yang paling kecil baru dua tahun.”
“Wah… saya juga mau punya anak banyak begitu pak. Cuma nanti terserah istri saya saja, karena dia yang hamil dan melahirkannya.”
Berbincang seru selama di jalan membuat perjalanan tidak terasa. Saka bersyukur juga karena punya kesempatan untuk mendapat masukan dalam mengasuh anak dari perspektif seorang ayah.
Mobil kantor berwarna putih itu pun akhirnya bisa berhenti sempurna di depan rumah berpagar pendek yang ditempati Saka dan Kiara. Lelaki itu menatap ke arah pintu yang tertutup rapat. Lampu dalamnya juga mati.
“Kayaknya karena malam banget, istri saya sudah tidur pak.” Saka terkekeh. “Terima kasih ya pak, sudah jemput ke bandara dan mengantar pulang juga.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Different (Complete ✓)
RomanceDalam semalam, dunia Kirana si workaholic berubah. Tiba-tiba identitasnya berbeda dan yang lebih mengejutkan adalah ia menjadi ibu rumah tangga. Jadi, apa yang sebenarnya terjadi pada Kirana? Mengapa bisa hidupnya berbeda 180 derajat dari sebelumny...