Perluasan kendali VOC

0 0 0
                                    

Selama sisa abad ke-16 dan ke-17, VOC perlahan-lahan memperluas wilayah kekuasaannya. Berdirinya Batavia menandai dimulainya perubahan status Kompeni, dari badan usaha yang semata-mata bergerak di bidang perdagangan menjadi pengurus daerah. Menyusul kegagalan Mataram dalam merebut Batavia, Kompeni mulai memperluas wilayahnya ke pedalaman Jawa dan sepanjang pantai utara. Pada akhir abad ke-17, kekuasaan ini menjadi dominan di dataran tinggi Priangan di Jawa Barat, dan ke arah timur dari Batavia sepanjang pantai utara hingga ke ujung timur pulau tersebut. Mataram di Jawa Tengah untuk saat ini tetap merdeka, namun semakin khawatir akan gangguan Belanda ke wilayahnya.

Di daerah sekitar Batavia, tanah dikuasai langsung oleh Kompeni, sering kali melalui penaklukan militer. Tanah tersebut kemudian dijual kepada warga negara, sebagian dari Belanda, sebagian dari wilayah Eropa lainnya, dan sebagian lagi dari Tiongkok: populasi Tionghoa di Batavia khususnya tumbuh pesat setelah berdirinya pemukiman VOC. Dari populasi yang berjumlah lebih dari 27.000 jiwa pada tahun 1673, hampir 3.000 jiwa adalah orang Tionghoa, sementara hanya terdapat 2.000 jiwa orang Eropa dan 700 jiwa Eurasia. Memang benar, orang Tionghoa telah memainkan peranan penting dalam perkembangan Batavia sejak awal berdirinya, sedemikian rupa sehingga Batavia dalam banyak hal merupakan kota kolonial Cina dan juga kota barat. Masuknya orang Tionghoa semakin meningkat setelah pencaplokan Banten oleh Kompeni pada tahun 1683, yang mengakibatkan penguasaan lebih banyak wilayah. Kompeni mulai memproduksi gula dari lahan-lahan ini untuk pasar Timur Tengah, namun karena kekurangan tenaga kerja lokal untuk menggarap lahan tersebut, mereka malah menggunakan imigran Tiongkok.

Masyarakat Tionghoa, sebagian besar, tetap berada dalam komunitas yang berbeda dari masyarakat pribumi, hal ini bertentangan dengan pengalaman kosmopolitan pada abad keempat belas dan kelima belas ketika etnis Tionghoa di Indonesia (dan wilayah lain di Asia Tenggara) dilarang kembali ke Tiongkok dan sehingga terputus dari pembaruan budaya atau genetik. Sekarang kedua hal ini menjadi mungkin. Hasilnya, kita melihat kebangkitan identitas etnis Tionghoa dan meningkatnya dominasi Tiongkok dalam perdagangan regional dengan Tiongkok sendiri dan, hampir sebagai produk sampingan, juga dalam perdagangan dalam negeri.

Namun demikian, kita harus berhati-hati dalam menyatukan etnis Tionghoa ke dalam satu keranjang seolah-olah mereka merupakan satu komunitas dengan satu peran yang harus dimainkan dalam masyarakat Indonesia. Mengatakan bahwa sebagian besar pedagang adalah etnis Tionghoa tidak berarti semua etnis Tionghoa adalah pedagang. Setidaknya dalam hal pinggiran, batas-batas antara etnis Tionghoa dan masyarakat adat dalam banyak hal masih tetap kabur seperti biasanya. Di salah satu sisi skala sosial dan ekonomi, pengrajin dan buruh Tiongkok berbaur dengan masyarakat lokal; di sisi lain, sebagian etnis Tionghoa hampir seluruhnya terserap ke dalam kalangan bangsawan Jawa. Misalnya, pada pertengahan abad ke-18, penguasa daerah Pekalongan, Batang, Sidayu, dan Semarang semuanya keturunan Tionghoa.


Sejarah Singkat Indonesia: Bangsa yang Tak TerdugaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang