35. Berkorban

84 1 0
                                    

Meskipun Clarissa mengatakan yang sebenarnya jika ia sempat membasuh wajah dan mengakibatkan bibirnya pucat lantaran lipsticknya luntur itu pun, Leo masih kurang yakin dan berpikir jika ada hal lain yang sengaja ia tutupi. Namun ia sendiri tidak tahu hal apa itu.

"Kamu hati-hati di jalan ya, Nak."

"Iya, Tante."

Leo pun tak bisa mencegahnya pergi dan terpaksa membiarkan Clarissa ingin meninggalkan ruang inapnya. Meski perasaannya sedikit tak enak karena memikirkan kondisi gadis itu juga tak membuat sang empu berubah pikiran. Sampai tak lama kemudian, Clarissa ambruk di lantai rumah sakit itu saat baru saja melangkah hendak keluar dari sana. Sontak saja hal tersebut membuat Rani dan juta Leo terkejut melihatnya.

"Clarissa!"

Rani pun bergegas menghampiri Clarissa yang sudah tak sadarkan diri itu untuk mendahului Leo yang nekat untuk mencabut selang infusnya dengan kasar karena terlalu buru-buru. Bahkan ia harus rela menahan rasa sakit yang luar biasa pada bagian perutnya yang belum juga sepenuhnya pulih, bekas jahitan itu karena benar-benar masih baru. Ia tak sempat memikirkan konsekuensi dirinya sendiri akan bagaimana ke depannya saat melihat Clarissa pingsan seperti itu. Tentu saja ia tak akan bisa tinggal diam di saat sang puan sedang tidak baik-baik saja.

"Biar aku aja, Ma."

"Astaga, Leo. Kamu belum sembuh, jangan nekat!"

Pria itu hanya menggelengkan kepalanya saat Rani ingin menghalangi usahanya untuk membantu Clarissa. Ia benar-benar bersikeras dan tak bisa dicegah karena ingin segera menolong Clarissa. Alhasil ia pun memaksakan dan menguatkan diri untuk membawa gadis itu menuju ke ranjangnya. Meski dengan tertatih dan gemetar, ia tetap berhasil meletakkannya di atas kasur.

"Biar mama panggil dokter sebentar."

"Terima kasih, Ma."

Leo meringis kesakitan dan berhati-hati untuk duduk di kursi yang ada di sebelah brankarnya. Perlahan ia menaikkan ujung baju pasiennya ke atas untuk melihat luka yang ia derita saat ini.

"Shit, sakit banget gila," geramnya karena melihat luka bekas jahitan itu kembali parah.

Rasanya sakit luar biasa sampai ia tak mampu untuk mengatakan apapun saat ini. Yang dilakukan hanya bisa meringis kesakitan dengan tenaga yang mulai melemah. Energinya benar-benar terkuras hanya untuk bisa menggendong Clarissa yang jaraknya beberapa langkah saja sampai ke atas ranjang dengan menggunakan kedua tangannya tadi.

Leo berusaha menguatkan Clarissa dengan menggengam lembut tangan kanannya di saat ia sendiri juga butuh kekuatan. Wajahnya sampai pucat pasih dan tak mampu bergerak banyak selain terdiam dengan menatap sendu ke arah gadis itu yang masih memejamkan kedua matanya. Hingga tak lama kemudian, dokter dan juga seorang perawat datang bersamaan dengan Rani di belakangnya. Berkat mereka berdua, Clarissa berhasil ditangani dengan cepat walaupun harus mengorbankan kesehatan Leo saat ini.

"Maaf, Pak. Kondisi Anda juga perlu diperiksa. Luka Anda butuh perawatan," ujar seorang perawat itu pada Leo.

"Iya, Leo. Jangan keras kepala," imbuh Rani kemudian.

Tak dapat mengelak, Leo pun menurut dan setuju untuk diperiksa kembali. Ia sendiri juga merasakan sakit luar biasa pada bagian lukanya, tak mungkin ia tahan lebih lama jika tanpa perawatan lanjut.

"Mau dibawa kemana, Dok?" tanya Leo saat Clarissa dipindahkan ke brankar lain, dari tempat miliknya tadi.

"Perawat akan memeriksa dan memberikan perawatan pada pasien, Pak. Silakan Anda kembali merebahkan diri di tempat semula, supaya bisa cepat saya tangani."

Leo hanya bisa pasrah kali ini. Ia membiarkan Clarissa dibawa pergi oleh 2 perawat lain untuk keluar dari ruang inapnya ke ruang lain. Sedangkan dirinya sendiri masih membutuhkan perawatan lagi untuk mengobati lukanya yang kembali parah karena kejadian barusan.

"Ma, tolong jagakan Clarissa sebentar untuk aku ya?"

***

Saat siang harinya, Clarissa baru saja terbangun dari pingsannya. Ia belum menyadari jika saat ini sudah ada kedua orang tuanya juga di sana. Bahkan sang empu sempat lupa hal apa yang sudah terjadi padanya tadi, sebelum mengingat keras kemudian.

"Ca? Kamu udah mendingan? Gimana sekarang? Masih sakit perutnya?" tanya Sania beruntun kala tahu putrinya sudah sadarkan diri.

"Kenapa aku bisa tiduran di sini, Ma?"

"Kamu tadi pagi pingsan, penyakit maag mu kambuh lagi."

"Udah dibilang, jangan telat apalagi tinggalin makan. Kamu rentan kambuh begini, Ca. Kenapa masih dilakuin lagi?"

Clarissa terdiam saat Salman berkata demikian. Ia tak berani membantah ataupun memberi pembelaan untuk dirinya sendiri karena tahu jika ia salah. Namun apa boleh buat? Semuanya juga sudah terlanjur.

"Maaf, Pa."

Hanya itu yang dapat dikatakan olehnya.

"Sekarang makan dulu, terus minum obat. Jangan nunda lagi, semakin sering kambuh juga merugikan dirimu sendiri."

Kali ini Clarissa tak menolak. Ia juga tak bisa membantah apapun selain anggukan kepalanya saja. Beruntung jika Sania tak banyak berkomentar atau menyalahkannya kali ini, setidaknya ia masih memiliki penenang meski Salman sedang geram dengannya.

"Lain kali kamu boleh khawatir sama orang lain, tapi juga jangan sampai mengabaikan kesehatanmu sendiri. Bukannya semua pada membaik, yang ada malah nambah korban lagi."

"Iya aku ngerti kok, Ma. Maaf."

"Kali ini kamu harus bener-bener berterima kasih sama Leo. Kalau bukan karena dia, kamu juga ada di posisinya sekarang. Apalagi setelah kamu pingsan tadi, lukanya kembali parah dan semakin lama sembuh karena udah maksa gendong kamu padahal perutnya sendiri masih baru juga dijahit."

"Dia gendong aku?"

"Iya, mamanya tadi bilang sama mama."

"Terus sekarang kondisi dia gimana, Ma?"

"Masih butuh banyak istirahat dan perawatan lanjut."

"Lihat, kalau bukan karena Leo sangat mengkhawatirkan kondisimu, dia juga nggak akan lakuin ini semua, Ca. Seharusnya kamu sadar kalau dia benar-benar mencintai kamu. Meskipun kalian dijodohkan, tapi perasaan Leo buat kamu itu tulus," kata Salman lagi.

"Iya, Ca. Leo udah banyak berkorban buat kamu. Setidaknya kamu bisa hargain dia. Rencananya untuk melamar kamu kemarin itu juga bukan main-main loh. Semuanya butuh usaha keras agar bisa berjalan sukses. Tapi kamu malah ngecewain dia dan berakhir begini."

Seperti terpojokkan di jalan buntu, Clarissa tak mampu mengeluarkan argumennya lagi. Karena memang posisinya kali ini benar-benar sudah salah besar. Meski sebenarnya tak ingin bermaksud demikian, nyatanya tetap menimbulkan konflik yang tak diinginkan.

"Setelah kamu udah sehat nanti, bicarakan semuanya lagi baik-baik dengan Leo. Bukannya kalian udah setuju untuk dijodohkan dan akan menikah? Jadi kamu juga harus bisa membuka hati buat dia," lanjut ibunya itu.

"Tapi aku belum bisa nerima perasaan dia, Ma. Aku setuju perjodohan ini juga karena mama dan papa. Bukan hal lain."

"Lagian aku juga selalu nolak dia berkali-kali. Bahkan sampai buat dia luka begini, aku nggak yakin setelah ini dia bakal tetep lanjutin perjodohan ini atau justru berubah pikiran."

Terpaksa NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang