Tampilan Clarissa terlihat sangat kacau. Gaun yang tadinya cantik dan anggun pun menjadi berantakan dengan banyak noda darah di sana. Namun ia sama sekali tak peduli, justru yang menjadi beban pikirannya saat ini adalah kondisi Leo. Ia berharap jika tak akan ada hal buruk yang terjadi padanya.
Saat Leo sedang ditangani oleh dokter, ia terduduk di kursi tunggu bersama dengan orang tua pria itu, lebih tepatnya bersama Rani di sana. Sedangkan keluarga yang lainnya sebagian mengurus administrasi dan juga dititah Rani untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi akibat tragedi ini di gedung hotel tadi.
"Clarissa, kamu bisa pulang dulu ke rumah ya? Tante tahu kalau kamu shock, jadi sebaiknya kamu istirahat dulu di rumah. Dan kamu juga perlu mengganti pakaian kan? Karena gaunmu sudah banyak darah. Kamu jangan khawatir, nanti biar tante dan keluarga lainnya yang akan menunggu Leo di sini."
Ucapan Rani sama sekali tak akan pernah disetujui olehnya. Bagaimana bisa ia bisa kembali pulang dengan tenang di saat pikirannya berkecamuk kacau balau karena masih mengkhawatirkan kondisi Leo di sini?
"Clarissa nggak bisa pulang, Tante. Maaf, aku mau nungguin Leo di sini," jawabnya lesu.
Tak ada rasa semangat sedikit pun yang dirasakan olehnya. Hanya dengan memikirkan tragedi singkat namun mengejutkan tadi sudah membuatnya takut dan terus terbayang hingga saat ini. Jangankan untuk mengganti pakaian atau pun membasuh tangannya yang masih berlumuran darah itu hingga mengering, untuk tersenyum saja ia enggan.
Wajahnya yang lesu dan kedua matanya juga masih memerah lantaran harus menahan air matanya agar tak terjatuh lagi di sepanjang perjalanan tadi. Ternyata menahan semua itu membuat dadanya sangat sesak. Ia tak mampu berkata-kata banyak selain kebisuan bahasa sementara waktu.
***
Sudah berjam-jam Clarissa bersama dengan Rani dan juga Sania itu menunggu. Rapalan doa dan harapan tak pernah putus dari lubuk hatinya ketika tahu Leo masih berada dalam kondisi kritisnya. Ia tak pernah bisa tenang selama itu, pikirannya semakin kalut dan tak luput dari rasa bersalah. Ya, dia bersalah karena sudah membuat Leo dalam kondisi seperti ini, alias terluka. Andai saja pria itu tak menahannya, pasti yang terbaring di atas brankar rumah sakit saat ini adalah dirinya bukan Leo.
Bahkan ia rela melakukan apapun untuk bisa menolong pria itu dan terbebas dari rasa bersalahnya. Sekalipun harus mengorbankan banyak darah untuknya.
"Nak, sebaiknya kamu pulang dan istirahat di rumah saja dulu ya. Kamu pasti capek, dan juga butuh waktu tidur. Lihat, kamu juga pucet banget setelah donor banyak darah untuk Leo tadi."
Perkataan Rani memang benar. Wajah cantik Clarissa yang tadinya memukau dengan make up flawless paripurna itupun kini menjadi pudar dengan wajah pucat pasihnya itu. Selain merasa sangat lelah, badannya juga lemah karena sudah mendonorkan banyak darahnya untuk Leo. Karena sang empu nyaris sekarat karena kehilangan banyak darah akibat tragedi tadi, yang naasnya hanya tersisa 1 kantong darah yang cocok untuknya.
Beruntung jika Tuhan masih memberikannya kesempatan untuk bisa menolong Leo dengan kecocokan darah yang dimilikinya untuk pria itu. Karena jika terlambat sedikit saja, mungkin akibat fatal akan menjadi konsekuensi yang harus diterimanya. Tak ada pilihan dan putusan lain baginya selain ingin pria itu cepat pulih seperti sediakala.
"Iya, Ca. Kamu juga perlu istirahat, apalagi setelah donor banyak darah tadi kamu nggak mau makan sama sekali. Nanti penyakit maag mu kambuh lagi," imbuh Sania agar bisa membujuk putri semata wayangnya tersebut.
Ia menggelengkan kepala lesu, mau seberapa banyak mereka semua berusaha untuk membujuk juga tak akan bisa merobohkan kegigihannya untuk tetap berada di sana. Setidaknya sampai Leo dinyatakan sudah baik-baik saja. Hanya itu yang ia butuhkan saat ini.
"Nggak bisa, Ma. Aku nggak mau pulang dulu sebelum dia sadar. Aku harus pastiin kalau dia baik-baik aja," jawabnya kemudian dengan suara pelan.
"Besok kita bisa ke sini lagi, Sayang."
"Iya, Nak. Kamu jangan khawatir, biar tante yang jaga Leo di sini. Kamu jangan sampai sakit juga, nanti Leo pasti sedih kalau kamu ikutan sakit."
Untuk sejenak Clarissa menoleh ke arah Rani setelah mendengar pernyataan itu. Ia sangat berat untuk menyetujui titahan mereka saat ini, namun jika terus dipaksakan juga tak baik dan malah merugikan dirinya sendiri.
"Emang kamu mau kalau Leo bangun nanti penampilanmu kacau seperti ini? Apalagi kalau kamu sampai sakit, Leo juga pasti nggak suka kamu liat kamu ikutan sakit."
Sania sampai mencari banyak alibi untuk bisa mencari celah dan mempengaruhi anak gadisnya itu.
"Tapi Ma-"
"Udah nggak apa-apa, kita pulang dulu sekarang. Besok pagi mama anter kamu ke sini lagi," ujar Sania memotong kalimat Clarissa.
Butuh waktu beberapa menit bagi sang puan untuk memutuskan hasilnya. Hingga pada akhirnya pun ia menganggukkan kepala setuju untuk ikut pulang ke rumah bersama ibunya dulu malam ini. Hari ini memang sudah banyak menguras tenanganya, dan ia harus kembali mengisikan daya untuk bisa melanjutkan hari esok dengan lebih kuat lagi.
Ia pun berpamitan dengan Rani sebelum pergi meninggalkan beliau sendirian di sana. Namun ia juga tak lupa untuk meminta tolong agar bisa segera dihubungi jika Leo sudah sadarkan diri dan melewati masa sulitnya itu.
"Pasti akan tante hubungi ya. Kamu istirahat yang cukup dan makan yang banyak. Biar besok bisa ke sini lagi."
"Iya, terima kasih dan maaf untuk semua kejadian hari ini ya, Tante. Clarissa merasa bersalah dengan semua orang, termasuk dengan Leo."
"Nggak apa-apa kok. Semuanya terjadi juga karena takdir. Jangan merasa bersalah begitu, yang terpenting kamu harus jadikan sebagai pelajaran dan mengambil hikmah dari semua ini."
Beruntung sekali Clarissa bisa mengenal seseorang yang sangat baik dan juga lembut hatinya seperti Rani, ibu dari Leo ini. Padahal ia sudah membuat kekacauan yang nyaris meregang nyawa putranya, namun beliau masih baik dan tetap sabar terhadapnya.
Kepulangan Clarissa dari rumah sakit malam ini diselimuti dengan rasa tak keruan yang sudah bercampur aduk. Peristiwa yang tak terduga dan terpikirkan sedikit pun olehnya terjadi cepat begitu saja. Dan hal tersebut benar-benar membuat Clarissa takut dengan rasa traumanya yang kembali muncul.
"Maaf, aku egois. Tapi tolong, jangan hukum aku dengan cara seperti ini, Om. Aku takut Om pergi ninggalin aku, sama seperti Matthew," batinnya dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terpaksa Nikah
RomansaTerpaksa menikah sebab tuntutan orang tuanya hanya karena usianya yang sudah menginjak kepala 3 membuat Leo harus menanggungnya. Mau tidak mau ia akan tetap kalah jika sudah berhadapan dengan Bagas, ayah kandungnya sendiri. Leo harus segera mencari...