38. Janji?

57 1 0
                                    

Clarissa jadi banyak perbedaan di mata Leo sejak perempuan itu menyatakan persetujuannya kemarin lusa untuk bisa menerima lamarannya. Iya, dia jadi lebih perhatian dan tak segan membantu apa saja yang dibutuhkan juga diinginkan oleh Leo saat berada di rumah sakit. Ia juga selalu rutin menjenguknya di sana setiap hari meskipun tak sampai menginap. Namun hal itu saja sudah membuat Leo senang karena sangat dipedulikan olehnya.

Bahkan tanpa harus dipaksa atau dikode sama sekali, Clarissa sudah berinisiatif melakukan semua hal yang dulu selalu ia tolak mentah-mentah. Yaitu peduli dan selalu menanyakan bagaimana kabarnya terhadap Leo lebih dulu.

"Besok aku ada interview pagi, jadi kalau belum sempet ke sini gak usah nyariin."

"Interview? Kamu yakin?"

"Kenapa tanyanya begitu? Ya yakin lah, aku pengen kerja. Pengen punya kesibukan dan hasilin uang sendiri."

"Maksud saya yakin kamu interview? Atau mau langsung diterima jadi karyawan tetap? Biar saya yang atur semuanya untuk kamu."

"Nggak usah. Aku bisa usaha sendiri. Aku nggak butuh koneksi siapapun. Kalau aku maunya begitu, ya kenapa susah susah cari kerjaan kalau di kantor papa aja bisa?"

Leo tersenyum tipis dengan menganggukkan kepala paham. Selain keras kepala dan selalu membantah ucapannya dulu, Clarissa juga perempuan penuh tekat dan gigih. Buktinya ia sudah memberikan ikan, namun Clarissa ingin memancing sendiri dengan umpannya.

"Kalau begitu semoga lancar. Besok sore juga saya sudah diizinkan pulang sama dokter. Jadi kalau kamu memang sibuk dan capek, tidak apa jangan datang ke sini."

Ia mengangguk dan kembali sibuk dengan piring yang ada di tangannya itu. Semenjak penyakitnya kambuh beberapa hari lalu, Clarissa jadi lebih aware dengan kesehatannya sendiri. Ia yang juga biasa susah untuk makan jika tidak sedang lapar mulai membiasakan diri merubah keburukannya itu. Apalagi Leo juga sekarang selalu mendorongnya agar bisa menjaga pola makan dan hidupnya yang seimbang.

Di sela keheningan mereka, Leo hanya terdiam dan menatap ke arah Clarissa saat perempuan tersebut sedang sibuk makan. Ia senang jika Clarissa tidak sesusah dulu saat diberi tahu. Dan tentunya ia juga bersyukur karena semenjak tragedi lamaran waktu itu membuat hubungan mereka semakin dekat dan membaik, seperti sekarang ini.

Sampai tak lama kemudian, suara pintu yang dibuka dari arah luar membuat mereka berdua sontak menoleh bersamaan. Di sana William baru saja datang dengan Rani yang mendorong kursi roda putranya itu agar bisa masuk ke ruang inap Leo. 

"Ngapain ke sini?"

Pertanyaan dari Leo barusan justru membuat Clarissa heran. Seharusnya ia senang jika adiknya itu bisa datang menjenguknya meski ia sendiri juga sedang sakit. Namun mendengar pertanyaan barusan membuatnya jadi bertanya-tanya.

"Kamu kok tanyanya begitu sih, Nak?"

"Aku cuman tanya aja kok, Ma. Nggak ada maksud lain, lagian Liam sendiri juga masih sakit kenapa maksain buat dateng ke sini?"

"Ya emangnya kenapa? Salah kalau gue pengen liat kondisi kakak gue sendiri? Lagian gue juga gak separah minggu lalu kok, sekarang udah jauh lebih baik," sanggah William kemudian.

Leo hanya menghela napas panjang dan sempat melihat ke arah Clarissa sejenak. Perempuan itu yang belum lama memulai makannya pun harus terpaksa menyudahi dan menyambut kedatangan Rani dengan Rani itu. Hal tersebut membuat Leo jadi lebih malas kepada William, adiknya sendiri karena sudah merusak momen dan menganggu ketenangan Clarissa.

"Gue denger dari papa pelakunya si Hani ya? Kenapa bisa? Kalian berantem?" tanya Liam kemudian.

"Nggak."

"Terus kenapa bisa?"

"Harus banget lo tau?"

Leo benar-benar ketus setiap kali menjawab pertanyaan William. Meskipun biasanya mereka memang terbiasa saling acuh tak acuh, namun kali ini benar-benar sangat kentara sekali jika ada sesuatu hal yang mengganjal pada Leo sehingga bisa bersikap demikian pada adiknya.

"Jangan jutek begitu lah, Om," ujar Clarissa padanya.

Seakan tak ingin ambil pusing, Leo tak mengindahkan ucapan Clarissa.

"Tuh dengerin, Ica aja bilang jangan jutekin gue. Orang gue ke sini juga niat baik-baik kok."

Semakin tersulut mood buruk Leo yang tadinya berusaha ia kontrol. Tentu saja, William selancang itu bisa memanggil Clarissa dengan nama panggilan yang biasa disebut oleh orang terdekatnya. Bahkan ia sendiri saja belum pernah memanggilnya seperti itu.

"Yang sopan lo kalau ngomong. Dia calon kakak ipar lo."

Suasana semakin awkward di ruangan itu, Rani sampai jengah dan terbiasa dengan perdebatan kedua putranya itu setiap kali dipertemukan dalam satu ruangan. Pasti akan ada saja hal yang membuat mereka berdebat meski dalam hal sepele.

"Gue tau kok. Gue manggil begitu juga karena usia kita sepantaran."

"Emangnya kenapa kalau sepantaran? Nggak bisa jaga sopan santunnya-"

"Aduh udah udah, kenapa malah jadi ribut begini sih? Kan kalian sama-sama lagi sakit, jadi bisa kan stop berantemnya dulu?" potong Rani yang sudah tak tahan mendengar percekcokan di antara mereka.

"Dia duluan yang bikin kesel, Ma."

"Lo nya aja yang selalu sewot sama gue, Kak."

"Kalau kalian mau terus berantem begini, mending mama pergi aja deh sama Clarissa. Kalian bisa lanjutin terus debatnya sampai capek."

Mendengar ancaman seperti itu akhirnya Leo mengalah dan sebisa mungkin meredam emosinya. Entah mengapa semenjak William mengenal Clarissa ia lebih jadi sensitif dan mudah tersulut emosi bahkan untuk hal-hal yang sepele saja. Antara tak suka dan cemburu sudah bercampur aduk menjadi satu.

"Lagian juga gak apa-apa kok kalau William mau panggil aku dengan sebutan siapa aja. Aku gak masalah," imbuh Clarissa kemudian.

Dari situ perdebatan mereka resmi berakhir. Keduanya sudah tak lagi saling menyerang argumen tak penting. Dan William sendiri juga tak banyak bertanya lagi pada kakaknya saat ini karena sebenarnya ia juga lelah jika harus terus berdebat. Mereka berdua memiliki sifat yang nyaris sama, saling tak ingin mengalah jika dirasa dirinya benar.

"Mau kemana?"

Leo mencegah Clarissa yang hendak pergi meninggalkan tempatnya semula dengan mencekal pergelangan tangan kanannya.

"Mau cuci piring sebentar."

"Tapi kamu baru makan, Sa. Dan makananmu juga belum habis. Jangan membuang makanan."

Sebenarnya Clarissa hanya sungkan jika harus meneruskan makan di saat Rani dan juga William ada di sana pula.

"Iya, Clarissa. Kamu bisa lanjutkan makan saja dulu."

Mau tak mau perempuan itu kembali duduk di sisi brankar Leo untuk melanjutkan makannya. Sedangkan William dan Rani sendiri sibuk berada di dekat sofa tempat penjenguk biasanya berada untuk memberikan ruang bagi Leo dan Clarissa lebih dulu dengan perempuan paruh baya tersebut mengalihkan perhatian putra bungsunya dengan mengupaskan buah-buahan untuknya.

"Jangan buru-buru, nanti kesedak," peringat Leo karena Clarissa tak menikmati makannya dengan baik.

Jika biasanya ia bisa menghabiskan belasan menit untuk menghabiskan semua makanannya, kali ini berbeda karena ia sanggup menyelesaikannya dalam hitungan menit saja. Hal tersebut tak lain dikarenakan merasa kurang percaya diri sebab Leo yang tak mengalihkan pandangan dari arahnya sama sekali.

"Kamu bisa kan janji dengan saya?"

Clarissa menyeka mulutnya dengan tisu kering miliknya lebih dulu sebelum menjawab pertanyaan itu.

"Janji apa?"

"Jangan pernah mengkhianati saya. Apalagi dengan adik saya sendiri."

Terpaksa NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang