18. Calon menantu

100 5 0
                                    

Hingga larut malam sekitar pukul 9, Clarissa baru memutuskan pergi meninggalkan rumah sakit dengan diantarkan oleh Leo menuju ke restoran untuk mengambil mobilnya terlebih dulu sebelum pulang ke rumah. Mereka berdua tak banyak bicara untuk dibahas selama berada di dalam mobil. Justru Clarissa sangat pendiam tanpa peduli jika Leo berada di sisinya karena sibuk menyetir.

"Mulai sekarang, balas pesan atau angkat telepon dari saya lagi."

Clarissa menoleh ke arah Leo setelah mendengar ucapannya barusan. Memang beberapa hari terakhir, lebih tepatnya saat pertemuan mereka di restoran untuk makan malam waktu itu Clarissa sudah tak lagi ingin berkomunikasi dengan Leo. Bahkan ia sengaja mengabaikan semua pesan yang dikirim oleh pria itu, seolah tak ingin lagi berurusan dengannya.

"Hmmm."

"Terima kasih."

"Buat apa?"

"Untuk usahamu yang sudah menenangkan mama saya tadi. Terima kasih karena sudah bisa mengertikan perasaannya di saat kami tidak bisa melakukan itu," perjelas Leo membuat Clarissa membulatkan mulutnya seperti huruf O.

"Santai aja, lagian aku juga perempuan. Mungkin bisa sedikit related dan peka kalau soal perasaan sesama perempuan kayak gimana."

Tanpa mereka sadari jika hari ini keduanya sudah lumayan banyak berinteraksi ketika berada di rumah sakit tadi. Meskipun topik pembahasan yang digunakan tak jauh dari kondisi kesehatan William pun tetap memberikan kemajuan bagi hubungan mereka.

Hingga beberapa puluh menit kemudian mobil Leo tiba di restoran tempat mereka berada sebelumnya. Di saat larut malam seperti ini juga tentu sudah waktunya untuk tutup. Terbukti dengan situasi yang sepi dan tak lagi ada pengunjung di sana. Bahkan hanya tersisa mobil milik Clarissa juga kendaraan para karyawan restoran saja.

"Udah sepi banget. Apa kita kemaleman ya, Om?" tanya Clarissa sebelum ia turun dari mobil.

"Tadi saya sudah menelepon managernya untuk menitipkan mobilmu di sini. Meski sudah waktunya tutup pukul setengah 10 sekarang mereka masih belum meninggalkan restoran sebelum mobilmu diambil."

"Om kenal sama managernya?"

"Tentu saja. Dulu pernah menjadi client saya."

Pantas saja, seharusnya Clarissa tak perlu heran mengenai hal ini. Karena Leo juga termasuk bukan sembarangan orang di kota itu, pasti banyak koneksi yang dimiliki olehnya.

"Ya udah deh, kalau gitu makasih. Om bisa langsung balik aja sekarang."

"Tidak bisa. Saya harus mengantarmu pulang sampai rumah."

"Ngapain? Nggak usah. Lagian aku bawa mobil sendiri."

"Justru itu, saya akan mengikutimu dari belakang dan memastikan kamu sampai di rumah dengan baik-baik saja."

Ia menghela napas pendek dan mengiyakan atas keinginan Leo itu. Setelah turun dari mobil, ternyata Leo juga ikut turun menyusul langkahnya menuju ke tempat parkir. Namun sebelum itu ia lebih dulu menemui seorang manager restoran yang kebetulan masih berada di sana untuk berpamitan dan mengucapkan terima kasih padanya.

"Terima kasih. Maaf karena sudah merepotkan," ucap Leo dengan menjabat tangan sang manager.

"Tidak sama sekali, Pak Leo."

Barulah setelah urusannya selesai, Leo datang menghampiri Clarissa yang sudah berada di parkiran dan siap untuk pulang saat itu juga.

"Jangan ngebut, sekarang sudah larut malam," ucap Leo dari luar mobil yang lebih seperti sebuah titahan padanya.

"Iya iya. Ayo buruan, aku udah ngantuk Om."

Selama di perjalanan Leo benar-benar tak melepaskan perhatiannya dari mobil Clarissa. Seperti yang dikatakannya tadi, Leo akan mengikuti mobil Clarissa dari belakang untuk menjaganya. Karena ia selalu ingin memastikan jika perempuan itu bisa selamat sampai tujuan.

Mungkin sekitar pukul 10 malam mereka tiba di pelataran rumah Salman. Dan seperti biasa, kedua orang tua Clarissa akan selalu menunggu kepulangan putri semata wayangnya itu di teras rumah jika ia datang terlambat. Ternyata sifat protektif mereka tidak pernah bisa menghilang meski putrinya sudah beranjak dewasa.

"Ma, Pa? Kenapa nungguin di luar? Kan tadi aku udah izin mau pulang telat."

"Justru karena kamu pulang telat kami nungguin di sini," jawab Salman menerima salaman dari putrinya.

"Selamat malam, Om, Tante."

Dari arah belakang, Leo datang menghampiri mereka bermaksud untuk menyapa sebelum ia pergi meninggalkan rumah itu. Tanpa dikode atau bahkan disuruh oleh Clarissa lagi, Leo sendiri langsung mencium punggung tangan mereka berdua secara bergantian.

"Malam, Leo. Terima kasih karena sudah mengantarkan Clarissa sampai ke rumah ya."

"Sama-sama Om. Saya juga ingin minta maaf karena sudah membawa Clarissa ke rumah sakit dan pulang larut malam."

"Nggak apa-apa kok. Ngomong-ngomong gimana kondisi adikmu? Sekarang sudah sadar?"

Leo menggelengkan kepala pelan seraya senyum simpulnya yang tipis itu.

"Belum, Om. Liam masih belum siuman. Cedera di tangan juga kakinya lumayan parah."

"Ya ampun, kami turut prihatin ya, Nak. Besok kami akan datang berkunjung ke sana. Bisa kan?" imbuh Sania kemudian.

"Bisa, Tante. Silakan datang, di sana juga selalu ada mama dan papa saya."

"Ya sudah, kamu mau mampir dulu sebentar nggak? Biar tante buatkan minum hangat dulu ya?" tawar beliau membuat Leo berpikir.

"Mohon maaf, sepertinya saya langsung pulang saja karena sudah larut malam. Mungkin jika ada kesempatan lain kali saya akan datang berkunjung. Terima kasih atas tawarannya," tolaknya halus.

Clarissa yang hanya menyimak sejak tadi pun sedikit terkejut saat Leo menyebutkan niatnya untuk datang berkunjung lain kali. Seperti biasa, Leo memang hobi sekali mengejutkan dirinya dengan kata-kata tak terduganya itu.

"Oh iya iya, hati-hati di jalan ya. Jangan ngebut-ngebut."

"Baik, Tante."

Salman menepuk pelan bahu Leo saat ia menyalami tangannya sebelum pergi. Tampaknya beliau benar-benar sangat welcome dengan sosok Leovandra Adinata itu sebagai calon menantunya nanti. Siapa yang tak senang jika akan memiliki seorang menantu yang cerdas, baik, sopan, dan juga tampan sepertinya? Dari segi mana pun Leo benar-benar bisa diandalkan.

Dan sebelum berbalik badan pergi, Leo juga sempat melihat ke arah Clarissa dan berpamitan pula dengannya. Meski mereka belum memiliki status yang pasti, sepertinya Leo perlahan mulai menerima keadaan. Keadaan jika mengharuskan dirinya untuk dijodohkan dengan perempuan yang belum lama ia kenal itu.

"Orang tua Leo orangnya baik kan?" tanya Sania dengan menyenggol lengan putrinya itu karena tak melepaskan pandangan dari mobil Leo sebelum pergi tak terlihat lagi.

"Iya, Ma."

"Kalau calon mantu mama sendiri juga baik?"

"Iya."

"Ganteng juga kan?" 

"Iya. Eh-"

Clarissa menoleh cepat ke arah ibunya saat menyadari pertanyaan yang dilontarkan barusan. Sedangkan Sania malah tersenyum puas karena berhasil menggoda putrinya bahkan sampai salah tingkah dengan jawabannya sendiri itu.

"Mama iseng banget sih."

"Siapa yang iseng? Orang mama cuman tanya dan kamu sendiri juga jawab."

"Maaa!" 

Sania sudah melenggang pergi menyusul Salman untuk meninggalkan Clarissa yang masih berdiam diri di tempat. Tak munafik, bagi Clarissa memang sosok Leo termasuk pria yang sangat tampan dari fisik ataupun materinya. Seperti perpaduan yang pas, dan tentunya bisa mudah disukai banyak orang karena sifatnya yang easy going. Itu menurut Clarissa selama ia mengenalnya dalam beberapa waktu terakhir belakangan ini, entah bagaimana aslinya juga ia sendiri belum tahu pasti.

Terpaksa NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang