Bab 10B. Do'a Lavina

273 21 12
                                    


"Om manggil aku? Ada apa?" Lavina menghampiri Auriga yang sedang menonton televisi di ruang keluarga.

Auriga menoleh, satu alisnya menukik ke atas melihat rambut Lavina yang basah. "Saya sudah nyiapin hairdyer di kamar kamu."

"Oh, itu." Lavina meraba rambutnya sendiri. "Aku lebih suka rambut kering secara alami. Kasihan banget rambut aku kalau terus-terusan dipanasin hairdryer," katanya sambil melompat duduk di samping Auriga, yang membuat Auriga sedikit berjengit.

"Bisa duduk pelan-pelan? Ini sofa, bukan tempat sirkus," desis Auriga dengan nada kesal.

Lavina menyengir lebar. "Maaf."

Kemudian Lavina merebut remote televisi di tangan Auriga tanpa permisi dan memindahkan channel sesuka hati.

Rahang Auriga mengetat, ia mengembuskan napas dengan kasar.

"Ada yang mau saya bicarakan sama kamu, sesuatu yang cukup serius." Auriga merebut remote itu kembali dan menaruhnya di meja. "Fokus ke saya, jangan ke televisi."

"Baiklah...."

Lavina mengubah posisi duduknya menjadi menghadap Auriga, kakinya bersila di atas sofa dan menatap pria matang itu dengan serius.

"Kamu nggak perlu menatap saya seperti itu." Mata Auriga menyipit. "Tatapan kamu sangat menakutkan seperti ingin memakan saya."

Lavina merotasi matanya dengan malas. "Oke... oke... jadi? Apa yang mau Om bahas sebenarnya?"

Ada jeda sejenak. Auriga terdiam seperti tengah memikirkan sesuatu. Tanpa menatap Lavina ia berkata, "Besok saya harus kembali ke Sydney."

"Secepat itu?!"

"Iya. Cuti saya cuma tiga hari."

"Begitu ya?"

Lavina membetulkan kembali posisi duduknya menjadi bersandar ke punggung sofa, matanya menatap layar televisi tanpa benar-benar memperhatikan tayangannya.

"Besok juga Aurora akan mulai sekolah," lanjut Auriga, "setiap hari akan ada guru yang datang ke sini. Kamu cukup memantaunya saja dan melaporkan perkembangannya ke saya."

"Home schooling?"

"Iya."

"Kenapa harus home schooling?" tanya Lavina penasaran sambil menatap Auriga kembali.

Auriga menoleh, matanya dan manik mata Lavina yang jernih seketika bertemu. "Seperti yang saya bilang waktu itu. Aurora selalu ketakutan tiap kali ada di ruang publik."

"Tapi...." Lavina menjeda kalimatnya, ia merasa tidak setuju dengan langkah yang diambil Auriga untuk menyekolahkan Aurora di rumah. "Bukannya dengan home schooling sama aja dengan mendukung ketakutan Aurora?"

"Maksudmu?"

"Aurora harus sekolah di sekolahan umum, Om. Biar dia bisa melawan rasa takutnya. Kalau didukung untuk menghindari orang-orang, bukannya ketakutan Aurora bakal makin besar nantinya saat dia berbaur dengan orang lain di ruang publik?" jelas Lavina tanpa titik koma, bicaranya terdengar bijak.

Auriga terdiam dan mengalihkan tatapannya dari wajah Lavina ke arah televisi. "Menurutmu begitu?"

"Hm!" Lavina mengangguk cepat. "Menurut aku, ketakutan itu harus dihadapi, bukan malah dihindari. Aku yakin, Aurora pasti bisa melewati fase ini kok walaupun butuh waktu."

Tiba-tiba Lavina teringat pada daftar keinginan yang ditulis Aurora. "Aurora pengen diantar jemput sama mommy-nya. Kalau aku yang antar dan nemenin dia di sekolah, kayaknya dia mau deh, Om."

My Cassanova HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang